Di wilayah Indonesia
pandangan materialisme, Marxisme, Leninisme dan pandang-pandangan lain yang
terkait dengan sebutan pandangan-pandangan kiri masih dianggap tabu dan
terlarang untuk di blow up ke permukaan, terlarang untuk dibahas-didiskusikan,
yang paling penting terlarang untuk disebarluaskan. Bukan karena apa, larangan
itu memang ada dan tertuang dalam TAP MPRS No.26 tahun 1966 ketika puncak
terjadinya resistensi terhadap PKI dan Marhaneisme, ideologi sosialis yang di-Indonesia-kan.
Sampai sekarang pun
masyarakat kebanyakan memandang pandangan-pandangan kiri sebagai musuh
atau minimal sebagai suatu hal yang jelek, ada satu kalimat menarik dalam
bahasa jawa yang digunakan sampai saat ini, kalau anda-anda sekalian pembaca
mempunyai anak-anak yang nuakal, bengal dan sulit diatur maka anda akan
mengistilahkan anak anda sebagai “arek senengane ngiwo ae (anak kok sukanya ke kiri
saja)”, apakah maksudya? Maksudnya adalah anak yang sulit diatur, istilah jowo nya
“angel kandan-kandanan e” (sulit diberi tahu/bengal). Dari kalimat itu kan
aneh, kenapa kok bukan arah kanan bila anak sulit diatur dan dianggap salah, dan
lagi jika anak-anaknya menurut kata-kata
orang tua dan berada pada “jalan yang benar” adalah jalan yang lurus (straight way)
istilahnya lurus-lurus saja. Dari kalimat diatas juga dapat “dipastikan” bahwa
arah kanan jauh lebih baik dari arah kiri, namun yang terbaik adalah jalan yang
lurus, padahal belok kanan-kiri sama-sama belok juga kan tidak mengikuti jalan
lurus, hehehe.
Oke logika kalimat diatas hanya sebagai prolog saja, come
back to the story, setelah tumbangnya orde baru dan masuknya orde reformasi
tulisan-tulisan bahkan buku-buku yang terkait dengan pandangan kaum kiri ini
mulai banyak bermunculan, hal yang sangat tidak mungkin bila terjadi pada jaman
orde baru karena percetakan selalu diawasi dan sebelum terbit buku-buku harus
mendapatkan ijin. Lalu bagaimana perkembangan pandangan-pandangan kiri itu
sekarang? Ah saya mau cerita lagi, kemarin dulu saya pernah menemukan sebuah
buku yang bagus,judulnya “Dialektika Marxisme” penerbit tidak tahu tapi kover
buku berwarna hijau dengan gambar Mbah Marx (Karl Marx) besar tampil sebagai
kovernya. Jumlahnya lima biji, ada keinginan untuk membelinya namun karena
tidak membawa uang lebih apalagi kartu debit juga tidak punya akhirnya saya
berfikir kapan-kapan saja saya akan membelinya. Seminggu kemudian ketika saya
kembali ke toko buku itu ternyata buku hijau sejumlah lima biji di rak bagian
filsafat itupun lenyap, tanya ke database komputer ternyata memang kosong, sold
out! Padahal baru sekitar seminggu saya
tinggal, waduh akhirnya beli deh komik “agen polisi 212” salah satu komik yang
menjadi favorit saya.
Dari cerita diatas dapat ditemukan betapa cepat habisnya
buku padangan kaum kiri itu, contohnya buku “dialektika Marxisme” itu, saya
pernah melihat bagian belakang buku itu sebelum mengembalikannya di rak, baca-baca
ringkasan isi bukunya, sepertinya sih memang buku “canon” (ambil istilah
buku-buku Sherlock Holmes) atau buku-buku karya pengarang aslinya (dalam hal
ini Marx atau Engels) sendiri dan bukan
buku-buku “tambahan” sesudahnya. Menarik bukan, berarti meskipun pandangan kiri
dianggap masih terlarang di wilayah Indonesia yang bisa dilihat dari belum
dicabutnya TAP MPRS pada jaman orde baru sampai sekarang, namun bukan berarti
padangan kiri itu sudah mati “beneran” di nusantara ini, sepertinya orang-orang
berpandangan kiri hanya mati suri saja dan menunggu waktu untuk tampil dan blow
up di permukaan. Inilah yang menjadi ketakutan di era orde baru sampai-sampai
ada jargon “waspada bahaya laten Komunis”, istilah laten adalah sebuah
pemikiran tak tampak diluar tetapi beneran ada didalam, seperti api dalam sekam
dan seperti hantu. A haunted ghost.
Lama kemudian, jargon seperti ini semakin lenyap, Indonesia
sedang menghadapi hantu baru yang lebih nyata dan lebih merusak selain
Komunisme, hantu korupsi sepaket dengan
koruptor-nya ditambah dengan produk hukum yang masih “menyayangi” tindak pidana
ini, sehingga muncul jargon baru dari KPK yang lebih menohok “waspada bahaya
laten korupsi”. Ketika dahulu yang harus waspada penyelenggara negara kepada rakyatnya
agar tidak tahu-menahu pandangan-pandangan kiri, kini malah terbalik
penyelenggara negara yang diawasi oleh rakyatnya untuk menghindari laten korupsi. That’s a better world isn’t?
Sebenarnya saya juga tertarik dengan pemikiran Marxisme ini,
pemikiran yang mengedepankan logika dan hal-hal material, karena logika tidak
dapat berjalan kalau hal-hal yang di-logika-kan tidak material alias berbentuk
gaib dan mengambang diawang-awang, jadinya kalaulah Marxisme memang beneran
sedang berkembang meskipun tak nampak saya sih setuju-setuju saja, namun efek
sejarah perkembangan Marxisme perlu diwaspadai juga. Revolusi Marxisme tidak
pernah menuju kedalam Revolusi damai
(istilah Mahatma Gandhi) melainkan revolusi yang cenderung berdarah dan “menghabisi” musuh-musuh Marxisme itu
sendiri. Itulah yang harusnya dikendalikan bahkan mungkin harus dihindari. Dan juga
yang perlu dihindari dalam keadaan “damai” seperti keadaan saat ini adalah
istilah komunis sebagai senjata politik untuk menjatuhkan lawannya, entah
memang lawannya itu komunis “betulan”, influenced by Marxism and communism,
atau malah jadi kambing hitam saja.