Mengapa harus pemuda? dan mengapa
harus isme-isme? Pemuda adalah golongan yang bersifat revolusioner, atraktif,
namun cenderung mudah berubah dan mudah goyah. Sedangkan isme-isme terkait
dengan pola-pikir, gagasan yang akhirnya bermuara pada sebuah ideologi. Aspek
utama dari artikel ini adalah dari pemuda itu sendiri, Saya sendiri sebagai
orang muda tidak terlalu mengharapakan sebuah perubahan besar dengan waktu
relatif singkat dapat terjadi apabila pemimpin-pemimpin yang mengambil
keputusan strategis berasal dari golongan-golongan tua. Begitupun juga dalam
segi penyegaran politik, yang perlu dilakukan adalah penyegaran generasi
(regenerasi) kepemimpinan dan orang-orang didalamnya sehingga akan membuka
peluang dan celah untuk ide-ide baru yang lebih segar.
Menurut saya sendiri, kebanyakan
pemuda sekarang tidak terlalu mempermasalahkan aspek mempelajari isme-isme
dalam proses pembentukan pemikirannya ke arah kedewasaan. Padahal setelah saya
banyak membaca buku-buku dari tokoh-tokoh kepemimpinan nasional, pada umur-umur
inilah (antara 20 sampai 30 tahun atau bahkan jauh lebih muda) orang-orang muda
mulai membentuk pola pikir dan sandaran ideologisnya.
Soekarno di ruang bacanya yang sempit di rumah
Pak Tjokro (Tjokroaminoto) pada tahun-tahun awal telah “berdiskusi” dengan
ideologi kapitalis (kapitalisme) bapak-bapak pendiri Amerika, pun begitu juga
dengan tokoh-tokh seinduk semang Pak Tjokro semacam Musso, Kartosoewiryo dan
Alimin. Look similiar dengan nama-nama
diatas? Musso dan Alimin adalah tokoh-tokoh kunci dari Partai Komunis Indonesia
(PKI), sedangkan Kartosoewiryo adalah imam dari Negara Islam Indonesia (NII).
Tengok betapa kaya gudang pikiran
Pak Tjokroaminoto menghimpun isme-isme yang berkembang pada orang-orang muda
disekitarnya. Soekarno berpandangan nasionalis-sosialis, Musso dan Alimin yang
berpandangan sosialis-komunis, dan Kartosoewiryo yang berpandangan
fundamentalis islam. Pendidikan yang diberikan oleh orang tua pada zaman dahulu
(Pak Tjokro) adalah pola pendidikan yang menekankan pada kebebasan berfikir
pada “anak-anak”nya. Maka tidak heran jikalau anak-anaknya mempunyai
kecenderungan untuk bersandar pada salah satu ideologi yang dipercayanya untuk
menjadi landasan dalam memandang hidup , sikap politik, dan perjuangan dalam
mengarungi kehidupan pribadinya di masa mendatang.
Ketika pemuda Republik Indonesia sekarang
kebanyakan bersifat hedon (gak kaget soalnya yang jadi panutan seleb-seleb dan
tokoh-tokoh aneh yang sering “diangkat” TV). Pemudi-pemuda jaman perjuangan
kebanyakan berkutat pada buku dan cita-cita perjuangan secara politik bagi
bangsa Indonesia. Jangan heran hasil kontemplasi, berfikir dan deduksi pemuda
Soekarno pada umur pertengahan 20an berhasil mencipta sebuah pengembangan
ideologinya sendiri dari ideologi Marxisme yang merupakan ideologi yang digali
dari nilai-nilai sosialisme bangsa Indonesia yang juga merupakan senjata
politik bagi beliau.
Marhaenisme, adalah ideologi yang ditemukan
oleh pemuda Soekarno ketika melihat bahwa sosialisme Indonesia bukanlah
sosialisme dalam pandangan Karl Marx yang melihat masyarakat sebagai kaum
borjuis dan kaum proletar. Kaum proletar akan selamanya bekerja pada alat-alat
produksi milik kaum borjuis. Bangsa Indonesia adalah bangsa yang berbeda,
dilihatnya petani bernama Marhaen bekerja pada sepetak bidang sawah miliknya
sendiri, alat produksi miliknya sendiri dengan hasil pun untuk mencukupi kebutuhannya
sendiri (silahkan baca pada buku “Soekarno penyambung lidah rakyat Indonesia”)
maka dengan kata lain, ideologi yang menulang sum-sum pada bangsa Indonesia
adalah kemandirian dan berdikari.
Begitupun Muhammad Hatta sebagai
salah satu orang terpelajar dari kaum pribumi pada masa lalu, buku pertama-tama
yang dibuatnya berjudul “Alam Pikiran Yunani” yang membahas banyak pola pikir
dan idealisme bangsa tersebut. Inilah
hasil karya cipta pemudi-pemuda masa lalu dalam konsep pembangunan dan
pengembangan pola pikir yang tidak hanya dapat mencipta “selfie”, “galau” , “jomblo”
dan “auh..ah” yang terkadang tidak jelas juntrungannya.
Semoga pada pemerintahan pak Jokowi
yang masih berumur beberapa hari ini menjadi angin segar dan angin perubahan. Saya
berharap pemerintahan yang baru ini bertindak seperti Pak Tjokro yang memberikan
pengayoman dan kebebasan berfikir pada masyarakat yang dianggapnya sebagai
anak-anaknya sendiri semacam Soekarno,
Alimin, Musso dan Kartosoewiryo.
Meskipun kita ketahui bersama bahwa Mao Ze
Dong telah gagal dalam membangun konsep ekonomi dan politiknya, tapi ada sebuah
kalimat yang seharusnya menjadi bahan renungan bagi kita sekalian dalam
memberikan kesempatan pengembangan pola pikir dan pengembangan gagasan,
khususnya bagi generasi muda yang akan menggantikan posisi generasi tua pada
masa mendatang “Biarlah seratus bunga
berkembang dan seratus pemikiran yang berbeda bersaing”. Mao Ze Dong. Berarti
tinggal diberi K...E...S..E...M..P...A...T...A..N
sumber gambar: dokumentasi
pribadi, biar tau yang nulis orang muda dan pengen narsis :p
BOBBYFITRY @ https://bobbyykzir.blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar