Rabu, 26 November 2014

Pemuda dan Isme-Isme dalam Perspektif Politik Masa Depan




Mengapa harus pemuda? dan mengapa harus isme-isme? Pemuda adalah golongan yang bersifat revolusioner, atraktif, namun cenderung mudah berubah dan mudah goyah. Sedangkan isme-isme terkait dengan pola-pikir, gagasan yang akhirnya bermuara pada sebuah ideologi. Aspek utama dari artikel ini adalah dari pemuda itu sendiri, Saya sendiri sebagai orang muda tidak terlalu mengharapakan sebuah perubahan besar dengan waktu relatif singkat dapat terjadi apabila pemimpin-pemimpin yang mengambil keputusan strategis berasal dari golongan-golongan tua. Begitupun juga dalam segi penyegaran politik, yang perlu dilakukan adalah penyegaran generasi (regenerasi) kepemimpinan dan orang-orang didalamnya sehingga akan membuka peluang dan celah untuk ide-ide baru yang lebih segar.

Menurut saya sendiri, kebanyakan pemuda sekarang tidak terlalu mempermasalahkan aspek mempelajari isme-isme dalam proses pembentukan pemikirannya ke arah kedewasaan. Padahal setelah saya banyak membaca buku-buku dari  tokoh-tokoh kepemimpinan nasional, pada umur-umur inilah (antara 20 sampai 30 tahun atau bahkan jauh lebih muda) orang-orang muda mulai membentuk pola pikir dan sandaran ideologisnya.
 Soekarno di ruang bacanya yang sempit di rumah Pak Tjokro (Tjokroaminoto) pada tahun-tahun awal telah “berdiskusi” dengan ideologi kapitalis (kapitalisme) bapak-bapak pendiri Amerika, pun begitu juga dengan tokoh-tokh seinduk semang Pak Tjokro semacam Musso, Kartosoewiryo dan Alimin. Look similiar dengan nama-nama diatas? Musso dan Alimin adalah tokoh-tokoh kunci dari Partai Komunis Indonesia (PKI), sedangkan Kartosoewiryo adalah imam dari Negara Islam Indonesia (NII).
Tengok betapa kaya gudang pikiran Pak Tjokroaminoto menghimpun isme-isme yang berkembang pada orang-orang muda disekitarnya. Soekarno berpandangan nasionalis-sosialis, Musso dan Alimin yang berpandangan sosialis-komunis, dan Kartosoewiryo yang berpandangan fundamentalis islam. Pendidikan yang diberikan oleh orang tua pada zaman dahulu (Pak Tjokro) adalah pola pendidikan yang menekankan pada kebebasan berfikir pada “anak-anak”nya. Maka tidak heran jikalau anak-anaknya mempunyai kecenderungan untuk bersandar pada salah satu ideologi yang dipercayanya untuk menjadi landasan dalam memandang hidup , sikap politik, dan perjuangan dalam mengarungi kehidupan pribadinya di masa mendatang.
 Ketika pemuda Republik Indonesia sekarang kebanyakan bersifat hedon (gak kaget soalnya yang jadi panutan seleb-seleb dan tokoh-tokoh aneh yang sering “diangkat” TV). Pemudi-pemuda jaman perjuangan kebanyakan berkutat pada buku dan cita-cita perjuangan secara politik bagi bangsa Indonesia. Jangan heran hasil kontemplasi, berfikir dan deduksi pemuda Soekarno pada umur pertengahan 20an berhasil mencipta sebuah pengembangan ideologinya sendiri dari ideologi Marxisme yang merupakan ideologi yang digali dari nilai-nilai sosialisme bangsa Indonesia yang juga merupakan senjata politik bagi beliau.
 Marhaenisme, adalah ideologi yang ditemukan oleh pemuda Soekarno ketika melihat bahwa sosialisme Indonesia bukanlah sosialisme dalam pandangan Karl Marx yang melihat masyarakat sebagai kaum borjuis dan kaum proletar. Kaum proletar akan selamanya bekerja pada alat-alat produksi milik kaum borjuis. Bangsa Indonesia adalah bangsa yang berbeda, dilihatnya petani bernama Marhaen bekerja pada sepetak bidang sawah miliknya sendiri, alat produksi miliknya sendiri dengan hasil pun untuk mencukupi kebutuhannya sendiri (silahkan baca pada buku “Soekarno penyambung lidah rakyat Indonesia”) maka dengan kata lain, ideologi yang menulang sum-sum pada bangsa Indonesia adalah kemandirian dan berdikari.
Begitupun Muhammad Hatta sebagai salah satu orang terpelajar dari kaum pribumi pada masa lalu, buku pertama-tama yang dibuatnya berjudul “Alam Pikiran Yunani” yang membahas banyak pola pikir dan idealisme bangsa tersebut.  Inilah hasil karya cipta pemudi-pemuda masa lalu dalam konsep pembangunan dan pengembangan pola pikir yang tidak hanya dapat mencipta “selfie”, “galau” , “jomblo” dan “auh..ah” yang terkadang tidak jelas juntrungannya.
Semoga pada pemerintahan pak Jokowi yang masih berumur beberapa hari ini menjadi angin segar dan angin perubahan. Saya berharap pemerintahan yang baru ini  bertindak seperti Pak Tjokro yang memberikan pengayoman dan kebebasan berfikir pada masyarakat yang dianggapnya sebagai anak-anaknya sendiri semacam  Soekarno, Alimin, Musso dan Kartosoewiryo.
 Meskipun kita ketahui bersama bahwa Mao Ze Dong telah gagal dalam membangun konsep ekonomi dan politiknya, tapi ada sebuah kalimat yang seharusnya menjadi bahan renungan bagi kita sekalian dalam memberikan kesempatan pengembangan pola pikir dan pengembangan gagasan, khususnya bagi generasi muda yang akan menggantikan posisi generasi tua pada masa mendatang  “Biarlah seratus bunga berkembang dan seratus pemikiran yang berbeda bersaing”. Mao Ze Dong. Berarti tinggal diberi K...E...S..E...M..P...A...T...A..N
sumber gambar: dokumentasi pribadi, biar tau yang nulis orang muda dan pengen narsis :p
BOBBYFITRY @ https://bobbyykzir.blogspot.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar