Kecewa, hal itulah satu-satunya
yang saya rasakan melihat perkembangan politik dan hukum di Indonesia
akhir-akhir ini. Saya sebetulnya bukanlah salah seorang yang berperan ataupun
dapat berperan untuk ‘dem-dem i’ (mendinginkan) persoalan politik dan hukum
yang sedang terjadi, saya adalah salah seorang warga biasa, salah seorang yang
menginginkan kemajuan yang berarti untuk melesatkan rangking korupsi Indonesia
yang berada pada tingkat nadir yang menghawatirkan. Untuk sekedar mengatakan
kepada dunia bahwa korupsi di Indonesia bisa dilenyapkan (dan memang harus
dilenyapkan) sehingga kita semua dapat mengangkat dagu kita dan berkata kepada
dunia bahwa ‘duri dalam daging’ yang bahkan berhasil merobohkan multinasional
company jaman baheula semacam VOC itu sudah kita berantas. Ketika penegakan
hukum yang sebenar-benarnya harus ditegakkan menjadi salah satu alat politik
yang terkesan saling menjatuhkan.
Sentimen positif kerja KPK saya
rasakan dengan penetapan seorang tersangka di wilayah Madura yang hampir-hampir
tidak dapat tersentuh hukum. Dengan modal sebagai cucu seorang ulama terkenal,
mempunyai ‘bolo-bolo’ yang berada pada tingkat bawah sampai tingkat atas
wilayah kekuasaannya, bahkan putranya pun menjadi pemimpin di wilayahnya. Dapat
disimpulkan bahwa kekuasan eksekutif dan legislatif yang seharusnya saling
sokong-menyokong sekaligus saling awas-mengawasi menjadi ‘mandul’. Dan terbukti
ketika KPK memeriksa secara menyeluruh, maka dapat ditemukan
transaksi-transaksi aneh dan bahkan uang tunai dibelakang sebuah lukisan
(silahkan pembaca searching sendiri beritanya di internet) menjadikan ‘tuhan
kedua’ di daerah madura tersebut sekarang menjadi salah satu pesakitan KPK.
Sebuah prestasi yang sangat membanggakan, sebuah prestasi yang tidak hanya
milik sebuah lembaga yang diberi nama KPK, namun juga prestasi orang-orang di
dalam KPK yang mampu bergerak mengobrak-abrik sarang penyamun itu, di dalamnya
pun termasuk prestasi warga kepolisian dan warga kejaksaan yang berada di wadah
bernama KPK.
Namun ndilalah, sebuah prestasi
yang indah itu sepertinya akan berakhir. Sebelum dan sesudah ulang tahun pemerintahan
100 hari presiden baru, giliran KPK yang diobrak-abrik. Ketika sahabat yang
dahulunya saling bantu, sekarang menjadi terkesan saling menikam dan menerkam
satu dengan lainnya. KPK dan Kepolisian. Ketika sebuah kasus yang terkesan lama
dan kurang substantif dengan semangat pemberantasan korupsi yang (masih)
menggurita itu diungkit-ungkit kembali, bukan untuk menegakkan kebenaran namun
cenderung hanya balas dendam sahaja (bahasa malay detect :p) sehingga KPK harus
lumpuh dan hilang tajinya dirusak saudaranya sendiri ketika perang Bharatayudha
terhadap korupsi masih belum berakhir. Akhirnya siapa yang bersorak? Penyelenggara
negara yang sudah ‘gawan bayi’ niat korup akhirnya sekarang adalah saat yang
tepat untuk melakukannya. Wong pengawas e geger, sing diawasi mbla’krak laa.
Lagian si pengawas sekarang sedang terkena stroke sehingga lumpuh.
Ndilalah maneh, pemimpin sebagai
pengayom, sekaligus hakim pada saat ini terasa menghilang. Padahal jelas-jelas
prahara ini terjadi pada masa pemerintahan beliau. Tidaklah bijak seorang orang
tua melihat anaknya ‘geger’ malah mendiamkan, tidak terkesan memisahkan ataupun
ngadem-ngademi. Kalau dibiarkan terus menerus tanpa adanya campur tangan sang
pemimpin dan pengayom ini pastilah anak yang paling muda dan masih berkembang
itu akan kalah dengan anak yang sudah tua dan ‘terlalu kuat’ untuk dilawan. Tinggal
tunggu sajalah apa keputusan yang mau diambil oleh pemimpin yang sudah dipilih
rakyat kebanyakan ini, atau hanya mendiamkan saja sak mati-matine anak e yang
mana.
Sebetulnya pemimpin kita ini juga
agak aneh ketika melakukan penjaringan informasi mengenai apa yang harus
dilakukan dalam mengatasi prahara ini. Bukannya mau nyinyir yah saya ini, tapi
menurut saya ada yang aneh, kenapa dalam masalah ini presiden harus membentuk
tim 9 (yang diketuai Pak Jimly dan Pak Maarif) yang terdiri dari orang-orang
lintas kemampuan (dari TNI-Polri juga ada). Padahal demi mendapatkan
pertimbangan dan memutuskan, sebenarnya ada corong resmi milik presiden yang
bernama Wantimpres. Namun kenapa, pak pemimpin kita merasa perlu untuk
mendengarkan dan menyaring informasi dari tim independen? Apakah pak pemimpin
merasa pertimbangan yang diberikan oleh wantimpres merupakan pertimbangan yang
diselip-i dengan titipan-titipan sehingga bukan pertimbangan yang ‘jernih’
untuk digunakan?Entahlah, tetapi kalau pak pemimpin lebih percaya dengan tim
independen diluar ‘ring’nya untuk menimbang-nimbang sebuah masalah nasional
dengan lebih jernih, tidakkah lebih baik kalau dahulu orang-orang independen
itulah yang dijadikan sebagai wantimpres, sehingga ketika presiden menghadapi
sebuah masalah nasional yang ‘pelik’ wantimpres dapat memberi usulan yang
jernih dan tanpa titipan? Entahlah, hanya pak pemimpin dan Tuhan YME yang
mengetahui setiap hati.
Dan sekarang bola panas yang
semakin membara itu ditangan pak pemimpin? Mau diapakan pak? Kami menunggu
kecepatanmu,gebrakanmu, dan kepemimpinanmu. Jadilah banteng yang sesungguhnya
pak. Jangan jadikan meme cover majalah TIME itu menjadi kenyataan. A new
hopelessssssssss.
BOBBYFITRY dengan keadaan agak
flu :!
Flu cemorokandang nendang bingits
http://bobbyykzir.blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar