Minggu, 21 Juni 2015

Beda Paradigma antara Filsafat, Ilmu Pengetahuan, dan Kewahyuan



Prolog:

Memasuki bulan puasa yang sangat panjang ini akhirnya berteman kembali dengan buku-buku dan membuat artikel yang dipublish kembali ke blog yang sudah lama kosong. Artikel banyak dari kemarin, tetapi belum dipublish karena sibuk sekali waktu kemarin-kemarin. Pinginnya sih untuk come-back publish artikel yang pertama adalah artikel ‘Do It Yourself “Kuras Tangki Bensin New Mega Pro” gara-gara si Samid yang interest masalah ini waktu saya dan teman-teman berkumpul, namun apa daya artikel tersebut ketlisut (bukan hilang loo) meninggalkan foto-fotonya saja, artikel perlu dicari dan memakan waktu juga. Akhirnya ilham itu datang juga ketika penjelasan saya mengenai kata-kata “nabi” di debat oleh Eva teman saya lewat BBM. Eva mendebat kenapa saya menggunakan kata nabi untuk seorang tokoh bernama Karl Marx. Menurut Eva, nabi ya nabi! seorang pembawa wahyu keagamaan yang ilmunya berasal dari langit. Meskipun saya menjelaskan bahwa karl Marx memang dapat dianggap nabi oleh pengikut-pengikutnya atau kaum komunis. Kata nabi saya perluas bukan hanya seorang tokoh yang membawa informasi dari langit atau dari Tuhan atau dapat juga disebut ke-wahyu-an, namun lebih luas lagi, Nabi dipandang sebagai orang yang dapat mempengaruhi orang per orang, masyarakat per masyarakat dengan pendapat dan pikirannya. Nabi menurut saya bukan hanya orang yang membawa pesan dari langit (saja) melainkan semua pembawa pesan/informasi yang pengaruhnya sangat luas di masyarakat. Perdebatan itupun akhirnya berakhir dengan kata-kata “aku ngelu Bob (Aku pusing Bob)..........” Tetapi obrolan itu akhirnya membuat saya mendapat ilham untuk menuliskan artikel  dengan judul diatas. Mengenai pemahaman saya tentang filsafat, kewahyuan dan ilmu pengetahuan. Selamat membaca.


_________________________________________________________________________________
Filsafat, Kewahyuan, dan ilmu pengetahuan sebenarnya adalah 3 aspek yang berbeda, tetapi juga ada persamaannya. Untuk persamaannya; ketiga aspek ini sama-sama merupakan pola pikir manusia yang selalu mencari kebenaran dan pencerahan, sedangkan perbedaannya saya jelaskan panjang lebar pada paragraf-paragraf dibawah.

Ilmu Filsafat terlahir dari pengolahan pola pikir manusia dalam menghadapi masalah yang ada di dunia ini, Hidup pasti disertai masalah yang disebut dengan permasalahan hidup, jumlahnya terkadang tak dapat dihitung juga. Sangat amat banyaknya. Setiap proses ada masalahnya sendiri, pun ketika kita naik ke proses berikutnya masalah pun pastinya tetap ada. Di dalam buku “Di Cacing dan Kotoran kesayangnnya’ karya Ajahn Brahm dapat dilihat hidup manusia yang diliputi segala masalah tergantung tingkatan-tingkatan hidupnya. Jika kita masih sendiri/single/jomblo maka kita akan mengalami masalah jomblo/jomblowati, banyak sekali masalahnya mulai dari masalah kesendiriaan (lonely) pun masalah-masalah lain yang mengikutinya. Ketika kita memilih untuk melakukan hubungan dengan seorang cewek, maka masalah jomblo akan meninggalkan kita, tetapi jangan senang dahulu! Masalah jomblo meninggalkan kita tetapi datang masalah orang berpacaran, mulai dari menyatukan prinsip dan pikiran dengan pasangan juga masalah lain yang mengikutinya. Sehabis berpacaran maka menikah, masalah orang berpacaran pun menghilang digantikan dengan masalah orang berumah-tangga. Itulah contoh sebagian kecil permasalahan dalam hidup yang sebenarnya “segudang” banyaknya.

Nah hubungan dengan filsafat adalah; Filsafat adalah pola pikir manusia dalam menghadapi masalah-masalah dalam kehidupan itu, karena pemikiran setiap orang berbeda-beda maka cara menghadapi masalahnya pun berbeda-beda dan akhirnya pendapatnya pun berbeda-beda pula. Kemandekan dari filsafat adalah jika tidak ada lagi pemikiran yang mengoreksi atau merevisi pemikiran sebelumnya sekecil apapun itu, namun hal itu mungkin sangat sulit mengingat insan manusia adalalah insan yang selalu berfikir dan mencari kebenaran dalam kehidupannya. Jika dapat dibuat contoh; pemikiran pada zaman Yunani kuno direvisi oleh Adam Smith, pemikiran Adam Smith direvisi oleh pemikiran Karl Marx, Pemikiran Karl Marx direvisi atau disesuaikan dengan pemikiran Mao Zedong  menjadi Maoisme, Pemikiran Karl Marx disesuaikan dengan pemikiran Lenin menjadi Leninisme, pemikiran Leninisme direvisi oleh Stalin menjadi Stalinisme, pun begitu pemikiran Maoisme pun tidak mandek dengan mendapat revisi dari Deng Xiaoping dengan pemikiran “sosialisme berkepribadian Tiongkoknya”. Sampai-sampai saat inipun semua filsafat tidak mandek, semua ber-alur bergerak berombak-ombak mengikuti jaman dan lingkungannya disertai dengan pemikiran dari pembawanya. Filsafat tidak pernah stagnan (berhenti), dia seperti aliran sungai yang terus mengalir mengikuti wilayahnya, mengikuti angin, mengikuti bebatuan dan mengikuti besar-kecilnya aliran sungai kehidupan. Maka dalam pandangan saya mengenai filsafat ini sesuai benar dengan pandangan Herakleitos yakni “Panta Rei” tidak ada yang tetap, semua berubah setiap waktu.

Manusia adalah insan yang befikir dan akan terus mencari kebenaran dan pencerahan, namun dia memiliki pikiran (otak) yang digunakan untuk men-digest (mengolah) masalah yang ada di kehidupan ini. Seperti yang saya jabarkan pada paragraf diatas. Manusia akan terus berfikir, akan terus menuju pencerahan dan akan terus menuju kebenaran dengan modal pikirannya, maka tidak heran setiap pikiran dan pendapat tidak boleh dipandang sebagai yang “terbaik” karena akan “mematikan” fikiran dan pendapat dari manusia lain, namun pikiran dan pendapat (yang membentuk ilmu filsafat tersebut) hanya ada dua yakni “baik” dan “lebih baik”. Pikiran atau pendapat yang “baik’ dan pikiran atau pendapat yang “lebih baik” yang merevisi pendapat yang “baik” tadi. Pikiran dan pendapat dari seorang filsuf mungkin “baik” pada waktu itu, namun tidak menutup kemungkinan kali ini, waktu ini, detik ini ada pendapat dan pemikiran yang “lebih baik” dari pemikiran yang “baik” tersebut.

Menurut saya, inilah dasar yang membedakan filsafat dengan kewahyuan. Ketika kewahyuan (yang nantinya saya jelaskan dengan lebih mendetail pada paragraf selanjutnya) dianggap sebagai “informasi langit” yang sebenarnya tidak diperbolehkan untuk direvisi ataupun dirubah-rubah, namun seharusnya dapat dikuatkan oleh fakta yang dapat dinilai dengan ilmu pengetahuan. Berbeda dengan filsafat yang memang harus membuka lebar-lebar pintu dan jendela revisi karena keterbatasan pemikiran manusia sendiri dalam mengolah masalah-masalah yang segudang banyaknya di dunia ini.
Masuk aspek selanjutnya tentang kewahyuan. Kewahyuan dianggap sebagai informasi dari langit (atau dari Tuhan) yang dibawa oleh seorang tokoh dan mempengaruhi masyarakat. Di dalam aspek kewahyuan ini seharusnya memang di tutup celah-celah revisi oleh manusia karena anggapan informasi dari langit adalah informasi yang bersumber dari “Maha Tahu” dan “Maha Memahami” yang seharusnya tingkatan kesempurnaannya lebih tinggi daripada tingkat pemikiran manusia yang penuh dengan keterbatasan. Di dalam aspek kewahyuan ini juga di kenal aspek ibadah yang saya anggap sebagai “suruhan” dari langit untuk mengerjakan sesuatu meskipun saya tidak mendapat timbal-balik keuntungan langsung dan dapat terlihat secara nyata. Konsep ibadah ini didasari karena adanya “kepercayaan” yang mendasarinya, jika tidak ada kepercayaan yang mendasarinya ibadah menjadi hal-hal yang dianggap membuang-buang waktu saja. Coba anda fikir tanpa kepercayaan dan keimanan yang anda miliki anda mungkin tidak mau membuang-buang uang hanya untuk bersedekah saja, ataupun tanpa keimanan dan kepercayaan yang anda miliki dapatkan anda bangun pada dini hari dan melakukan ibadah sunah anda. Saya rasa tidak. Oleh karena itulah, di dalam aspek kewahyuan yang berarti informasi didapat dari langit dengan kegiatan-kegiatan tertentu yang disebut “ibadah” ada aspek yang mengikutinya yakni; kewahyuan tidak boleh mendapat revisi dari segala pikiran manusia karena manusia dianggap memiliki keterbatasan padahal, kewahyuan dianggap sebagai informasi langit dari “Yang Maha Tahu” dan “Yang Maha Memahami” di lingkungan dunia dan akhirat, karena dianggap wahyu dari langit yang sempurna maka segala informasi tersebut harus diikuti oleh kepercayaan dan keimanan dalam menjalankannya. Namun, untuk saya sendiri karena kewahyuan dianggap informasi yang sempurna maka seharusnya memang harus “kuat” untuk dijalankan di dunia, dapat dilakukan (realistis dengan kemampuan manusia) dan harus bermanfaat dalam aspek kemanusiaannya (Humanity). “Kuat” dijalankan didunia berarti ajaran itu harus murni dari tokoh pembawanya tanpa adanya revisi dari pikiran manusia selama perjalanannya kesini. “Kuat” juga berarti dapat dibuktikan dengan ilmu pengetahuan (yang akan dibahas pada paragraf selanjutnya)yang dapat menguatkan bahwa ajaran tersebut memang berasal dari “Yang Maha Tahu” dan “Yang Maha Memahami” yang tidak mungkin keliru dan tidak mungkin di revisi oleh manusia. Aspek “realistis sehingga dapat dijalankan oleh manusia” juga saya pikir merupakan aspek yang harus mengikuti aspek kewahyuan itu sendiri. Sebagai contoh, jikalau ada kewahyuan yang menyuruh anda untuk beribadah dengan bertempat tinggal di matahari yang sangat tidak mungkin untuk dikerjakan oleh manusia maka “keaslian” kewahyuan tersebut perlu dipertanyakan juga. Yang terakhir adalah harus merubah pola pikir dan tindak tanduk masyarakat menjadi lebih beradab atau dapat disebut juga bermanfaat bagi kemanusiaan (humanity). Sebagai contohnya saya sebagai muslim yang sangat bangga jika melihat sejarah islam yang akhirnya dapat merubah masyarakat Arab yang dahulunya tidak beradab (jaman jahiliyah) menjadi masyarakat yang beradab dengan cahaya islam.
 Aspek terahir mengenai ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan dapat dilihat dari adanya fenomena-fenomena yang terjadi di alam, di lingkungan sekitar manusia hidup. Manusia yang berfikir akan mencoba untuk memahami dan menguasai fenomena-fenomena tersebut. Di dalam hal ini mungkin serupa dengan filsafat, namun bedanya pada filsafat kita mengenal area utopia. Area utopia adalah area angan-angan dimana tempat tersebut adalah tempat yang penuh kesempurnaan. Area utopia ini juga ada pada aspek kewahyuan seperti contoh dengan adanya konsep surga, namun pada aspek ilmu pengetahuan aspek ini hilang karena ilmu pengetahuan berbicara berdasarkan bukti dan fakta yang bersifat material yang mengungkapkan rahasia dari fenomena-fenomena yang terjadi. Ilmu pengetahuan lebih cenderung untuk memahami dan menguasai fenomena yang terjadi di alam yang nantinya dapat digunakan untuk ke-masyahlahat-an kemanusiaan ataupun efek sampingnya juga buruk bagi kemanusiaan. Bom nuklir contohnya, tetapi karena ilmu pengetahuan (ilmu geologi) kita menjadi mengenal proses gempa bumi dan gunung api sehingga alarm bahaya dapat berbunyi lebih awal untuk mengurangi korban. Ilmu pengetahuan sepertinya diciptakan Tuhan seperti pisau yang dapat bermanfaat dan dapat pula digunakan sebagai kekuatan pembunuh tergantung bagaimana  manusia menempatkannya, namun itulah berkah Tuhan, Wallahualam.

Itulah pembaca sekalian pemikiran saya mengenai tiga aspek ini; filsafat, ilmu pengetahuan, dan kewahyuan. Salam buat Eva Ernawati. Hahaha.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar