Selasa, 14 Juli 2015

Kenapa Marxisme masih diminati? Dan Analisis generasi Young Punk


Puasa harusnya produktif! Itulah idealnya, namun ternyata puasa yang hari-hari terakhir ramadhan tahun 2015 dimana persediaan lemak sebagai cadangan makanan di daging tubuh semakin menipis membuat produktifitas menurun drastis, khususnya dalam bidang pemikiran dan tulis menulis seperti ini. Tenaga yang tersisa lebih diprioritaskan untuk kegiatan lain.
Sebelumnya ingat sebuah janji untuk sekedar menulis tentang teman-teman kelas CB di blog yang sederhana ini, sebagai pengingat kawan-kawan yang sudah berubah menjadi saudara tesebut kepada Eva. Iya deh nanti saya coba tulis, tapi temanya apa ya? Yang sesuai dengan minat saya di bidang ilmu sosial, ekonomi, filsafat, dan ilmu teman-temannya itu. Cerita tentang perjalanan dan dolen-dolen kita waktu kuliah? Ah tema tentang  nostalgia dan romantisme masa lalu itu kurang seru sepertinya.
Lama berselang akhirnya tema tulisan itu datang ketika ada acara buka bersama dengan kawan-kawan dan bertemu kembali dengan  Bu Pipit. Bu Pipit putri seorang dosen saya, Islamisme oriented  ketika masa kuliahnya sampai sekarang. Partner yang baik untuk diskusi sekadar membahas masalah Marxisme dan ke-islaman. Sekarang sudah menjadi ibu dari seorang putra yang manis. Setelah buber, mendekati saya sambil menggendong putranya. “Bob, PKI bangkit lagi di kampus-kampus ya?” Melongo sejenak. “Masak Bu Pipit? Tau darimana?” Singkat kata, ternyata Bu Pipit baru saja menghadiri sebuah acara di lingkungan kampus (sebuah kampus diluar kampus UB menurut Bu Pipit) dan ternyata ada beberapa narasumber (atau peserta?) yang mengungkit-ungkit lagi tema sosialisme dari Mbah Marx (Karl Marx). Dan tentunya dengan penjelasan disertai dengan semangat yang menggebu-gebu (menurut Bu Pipit), dan tentunya siapa lagi yang harus diberitahu ‘berita penting’ ini oleh Bu Pipit selain saya. Okelah.



Terkejut? Tidak sama sekali, Marxisme adalah sebuah gagasan yang dapat pengaruh-mempengaruhi di dalam pikiran setiap orang. Meskipun terlihat ‘mati suri’ pada zaman Orde Baru (1965-1998) nyatanya ketika jaman berubah, orang-orang yang terpengaruh oleh pemikiran Mbah Marx juga bermunculan laksana  jamur di musim angin barat. Inilah uniknya kepala setiap manusia, rambut boleh sama hitam namun dalamnya pikiran dan hati siapa yang tahu? Dan diera kebebasan dan reformasi inipun hampir-hampir mustahil untuk mengekang setiap informasi yang ada. Maka setelah sebelumnya versi tentang PKI dan Marxisme hanya didapat dari saluran pemerintah, maka sekarang diberikan kebebasan seluas-luasnya untuk mengenalkan versi alternatif dari versi pemerintah tersebut. Disertai dengan ‘hembusan-hembusan’ beberapa media yang ‘pro’ terhadap paham ini dan dengan getolnya mem-publish versi alternatif ataupun paham Marxisme ini tentunya hal itu menjadi semacam jaring untuk membuat orang tertarik untuk mempelajarinya. Apakah hanya paham Marxisme saja? Tidak juga, semua paham juga diberikan ruang dan kebebasan yang sama, Liberalisme dan Radikalisme pun dapat menebarkan jaring-jaring ini dengan memanfaatkan bebasnya media dewasa ini.
Diluar hal itu, gairah kaum muda untuk mempelajari sesuatu yang baru dan memilah-milah suatu kejadian berdasarkan versi alternatif turut pula menyuburkan ketertarikan banyaknya orang yang akhirnya mempelajari paham Marxisme ini. Siapa yang tidak senang dengan jargon awal-awal PKI tentang “sama rata, sama rasa”nya. Semua orang tentu tidak mau dipandang sebelah mata, tidak dilihat dari besarnya ‘duit’ yang dimiliki seperti paham Kapitalisme dan Liberalisme, semua manusia ingin dipandang sebagai manusia yang sama, di-uwong-ke, istilah jawa-nya. Dan sayangnya nilai-nilai ideal tersebut sangat sulit tercipta di dunia nyata. Mungkin arah untuk mendekat kesana ada, namun dalam kriteria “sama rata, sama rasa” yang ideal masih belum dapat terpenuhi., namun tetap saja jargon-jargon tersebut menarik minat juga bagi sebagian kalangan.
Entah lah apa semua orang juga mengalami hal ini, namun ada masa-nya didalam jiwa setiap manusia seperti muncul sebuah pertanyaan mengenai  “mengapa ada sebagian orang kaya dan yang lain miskin?”,”mengapa di dunia ini ada kesenangan dan kesedihan?” dan pertanyaan lain sebagainya. Bagi anak-anak muda tentu saja dari pertanyaan-pertanyaan ini akan selalu mengharap jawabnya. Beruntunglah dia jika mempunyai orang tua yang konsen terhadap perkembangan putra-putrinya ataupun beruntunglah dia yang melarikan dirinya ke kubangan kebaikan (bukan yang menurutnya baik) dalam segi agama dengan bertemu guru yang ikhlas membagi ilmunya dan menghindarinya dari konsep-konsep berfikir radikal. Namun ternyata orang tua yang konsen terhadap perkembangan mental dan pikiran anak-anaknya pun tidak banyak. Pun juga jangan terlalu banyak mengharapkan anak muda yang memilih ‘berkubang’ kembali ke dalam hal-hal kebaikan di masa-masa darah masih fresh dansegala  kesenangan hidup menjadi pokok utama dalam pencariannya.
Dari luar, Marxisme menawarkan pemikiran yang praktis. Hal itu dapat dilihat dari dihilangkannya “unsur-unsur gaib” di dalam dasar berfikir Marxisme. Unsur-unsur gaib tersebut tentunya meliputi segala unsur diluar unsur eksak, diantaranya; agama. Agama tentu sangat terkait dengan makna ke-Tuhan-an itu sendiri karena di dalam agama kebaikan apapun yang dilakukan selalu mengharap berkah dari Tuhannya. Tentunya sangat sulit bagi orang yang tidak mengimani Tuhannya untuk mengharap berkah dari Tuhan yang sama-sekali tidak dikenalnya. Marx sendiri memandang agama sebagai ‘pengganggu’ saja bagi umat manusia dari mengindarkan masalah-masalah hidupnya. Ada sebuah quotes yang sangat terkenal dari Mbah Marx  mengenai agama:

“agama adalah tanda dari makhluk-makhluk yang lemah, tanda dari dunia yang tak berhati, dan tanda dari kondisi tak berjiwa. Agama adalah candu bagi masyarakat”

 Menggantungkan sesuatu hal pada Tuhan yang gaib dipandang oleh Marx sebagai ‘kecacatan’ dalam manusia, lebih-lebih secara luas dipandang sebagai ‘kecacatan’ dan dapat mengganggu perkembangan umat manusia. Agama dianalogikan sebagai candu atau opium yang dapat mengganggu mental masyarakat dan membuat masyarakat lepas dari segala permasalahan hidupnya untuk ‘bermain-main’ di alam opium yang memabukkan.
Maka dari itulah, segala pemikiran Karl Marx akan menafikkan seluruh unsur-unsur gaib dan lebih mengedepankan materialitas juga logika. Segala hal diluar logika dan materialitas akan ditolak mentah-mentah. Memang dalam hal ini Karl Marx membentuk pemikirannya sendiri yang sedikit berbeda dengan Hegel mengenai masalah ke-Tuhan-an nya.
Dan tentunya hal ini (dasar pemikiran materialitas dan logika) juga dapat menarik simpati dan keingin tahuan yang besar dari manusia yang ingin menjalani hidup dengan mengedepankan unsur-unsur tersebut. Apakah hal yang paling utama dalam hidup ini jika dipikirkan secara materi? Tentunya rumah, pakaian, dan makanan yang melimpah-ruah, dan itu semua dapat diperoleh dengan pekerjaan yang baik, maka dimanakah fungsi Tuhan yang kita sembah? Apakah Tuhan dapat mencukupi kebutuhan kita dengan unsur-unsur gaib nya? Hal ini seperti logika jika A maka B dan B maka C. Maka diperoleh A maka C.
Jika “Saya bekerja” maka “saya sejahtera” dan “saya sejahtera” maka “saya hidup”. Maka diperoleh jika “saya bekerja” maka “saya hidup”. Tidak ada unsur-unsur ke-Tuhan-an disitu, yang diperlukan adalah saya bekerja untuk hidup, diantara keduanya ada kesejahteraan kelimpahan materi.
Inilah fungsi praktis yang membuat pemikiran Karl Marx terus mendapat tempat di setiap insan manusia. Unsur Materialitas dapat langsung dilihat mata lahir yang berarti hasil melimpah-ruahnya materi yang didapat itulah kriteria dari keberhasilan unsur materialitas ini. Dalam konsep anak-anak muda tentunya pola berfikir seperti ini sangat menarik, mengingat tidak ada yang lebih bahagia dari manusia-manusia muda tersebut selain dapat mencukupi kebutuhannya sendiri bahkan cenderung menghambur-hamburkannya. Kelimpahan materi harus didapat dari sumber-sumber materi dan tentunya diusahakan dengan materi juga. Tidak ada konsep ke-Tuhan-an kembali disini.
Dari pembahasan saya diatas, maka tidaklah mungkin gagasan seperti Marxisme dapat dihancur-leburkan tak tersisa. Mungkin kaum-kaum muda yang mencari jati dirinya dengan banyak membaca dan mencari gagasan ini akan menjadi pendukung setianya bahkan dapat pula bersifat militan dalam bentuk mendukung habis-habisan paham ini atau mungkin dapat pula menjadi musuh besarnya. Tak apa, inilah dia generasi Young Punk!* Anak muda memang bersifat seperti itu, di dalam pencarian dirinya yang kadang berbahaya turut pula pencarian terhadap konsep-konsep hidup yang akan digunakannya. Konsep tersebut termasuk konsep ideologis dan politis seperti yang dahulu pernah saya tulis di artikel "Pemuda dan isme-isme dalam prespektif politik Masa Depan", kenapa idea politis dikaitkan dengan unsur-unsur ideologis? Karena politik adalah ilmu mengenai kehendak, mau ‘dikemanakan’ arah tujuan yang ingin dicapai dan usaha-usaha apa yang harus dilakukan, itulah diantara essen dari ilmu politik.
 Namun lama dan lama kemudian di dalam menjalani hidup jikalau manusia-manusia tersebut adalah insan yang berfikir maka dia akan timbang-menimbang konsep-konsep yang dijalankannya dengan hasil yang dia dapat. Tentunya hasil ini adalah hasil pengalaman material dan sprituil yang didapatkan setelah menjalani kehidupan dengan menggunakan ‘konsep-konsep’ tersebut. Orang yang dapat berfikir dan yang telah menjadi dewasa dalam hal pemikirannya tentu saja tidak akan lagi menggunakan konsep-konsep yang malah merugikan dirinya tersebut, nantinya konsep-konsep tersebut juga akan ditinggalkannya sendiri, jika manusia yang ‘meng-amal-kannya’ merasa sudah tidak cocok bukan?
Dan itulah akhir dari kisah ini, di sebuah rumah makan yang ramai dan setelah mendapat ‘berita penting’ dari Bu Pipit tersebut selama merenung saya berfikir, ah generasi Young Punk! Saya jadi melihat diri saya sendiri dahulu dalam cerita Bu Pipit tersebut. Okelah.


*young punk: bahasa inggris slang untuk menyebut anak-anak muda yang sedang mencari jati dirinya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar