Senin, 29 September 2014

Pemilihan Kepala daerah lewat DPRD, kurang Demokratiskah?





Mulai Hari Kamis tanggal 25 September sampai hari jumat dini hari tanggal 26 September 2014 kemarin, Anggota DPR bersidang untuk memutuskan beberapa rancangan Undang-Undang (RUU) yang akan disahkan menjadi Undang-Undang (UU) diantaranya adalah RUU keperawatan dan RUU pilkada. Perumusan RUU menjaid UU keperawatan berjalan muluuuss, tetapi ketika pembahasan dan pengesahan RUU pilkada segalanya berjalan dengan alot.

Ada tiga opsi yang diangkat dalam sidang ini, opsi pertama adalah pemilihan kepala daerah dilaksanakan secara langsung oleh rakyat, opsi kedua pemilihan kepala daerah lewat wakil rakyat di DPRD, dan opsi ketiga adalah opsi tambahan dari fraksi partai Demokrat yakni pemilihan langsung oleh rakyat dengan syarat-syarat mutlak  yang harus diterima dan dilaksanakan.
Karena Fraksi dari partai Demokrat mempunyai jumlah suara yang besar (Partai Demokrat memenangi pemilu tahun 2009) maka dapat dipastikan suara partai ini berpengaruh sangat besar dalam pengambilan keputusan mengenai RUU pilkada ini, jika pengambilan keputusan dilaksanakan dengan cara pengambilan suara (voting). Jika partai Demokrat mendukung koalisi “enteng” Jokowi-JK yang dipimpin oleh PDI-P suara yang dihasilkan mungkin akan menyamai koalisi merah-putih yang didukung oleh partai-partai “gajah”. Tetapi akhirnya, Partai Demokrat lebih memilih Abstain dan bersifat netral dengan cara walkout (keluar) dari proses pengambilan keputusan sebelum voting dimulai. Akhirnya PDI-P  yang didukung oleh partai-partai “enteng” di parlemen menjadi kalah dalam proses pengambilan suara. Partai-partai yang mendukung pilkada melalui DPRD memenangkan proses voting dan akhirnya pemilihan kepada daerah (pilkada) untuk masa-masa yang akan datang pun akan melalui DPRD.
Salahkah jika pilkada melalui DPRD? Tidak ada yang salah sebenarnya jika kita kembali kepada Undang-Undang Dasar 1945 karena di dalam undang-undang ini mengisyaratkan pemilihan yang bersifat langsung (pemilihan umum) adalah pemilihan yang memilih paket presiden dan wakil presiden serta pemilihan wakil rakyat di parlemen (pemilihan legislatif). Sedangkan pemilihan kepala daerah (pilkada) sendiri diisyaratkan dipilih secara demokratis. Kata-kata dipilih secara demokratis itu sendirilah yang menjadi sebuah polemik, apakah pemilihan yang dilaksanakan secara demokratis itu adalah pemilihan kepala daerah yang dipilih secara langsung oleh rakyat ataukah pemilihan yang menghasilkan pemimpin daerah lewat wakil-wakil rakyat di DPRD juga disebut sebagai pemilihan yang demokratis?
Sebuah hukum dan peraturan memang berbeda dengan sebuah karya sastra meskipun sama-sama berupa tulisan. Kata-kata dalam sebuah karya sastra dapat bermetamorfosa menjadi beberapa makna tergantung dari penafsiran. Sedangkan hukum dan peraturan harus meminimalisir segala-bentuk perbedaan penafsiran tersebut. Hukum dan peraturan adalah hitam atau putih dan menghindari wilayah abu-abu. Jika dilihat dari kata-kata pemilihan dilaksanakan secara demokratis tanpa dijabarkan lebih lanjut dilaksanakan melalui jalur apa (langsung rakyat atau perwakilan rakyat di DPRD) secara yuridiksi (peraturan) koalisi merah-putih yang memenangkan peraturan pilkada melalui DPRD tidak dapat dikatakan sebagai pihak yang bersalah. Pemilihan lewat DPRD diperbolehkan, karena peraturan berkata demikian, yang tidak boleh adalah ketika pemilihan presiden juga diserahkan pada perwakilan karena di dalam peraturan pemilihan presiden diserahkan kepada rakyat secara langsung.
Lagipula, pemilihan lewat DPRD dirasa lebih cocok untuk menjalankan sila keempat Pancasila , yakni: Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan. Kata-kata yang perlu digaris bawahi adalah permusyawaratan perwakilan, dimanakah tempat untuk mengadakan musyawarah untuk mencapai mufakat jika seluruh rakyat menginginkan suaranya untuk didengar dalam proses pemilihan pemimpinnya? Bukannya lebih baik jika kita yang telah memilih wakil-wakil kita di DPRD memberikan kewenangan bagi mereka untuk bermusyawarah memilih seorang pemimpin. Dalam UU pilkada yang baru ini, peraturan juga tidak menafikkan adanya resiko politik transaksional (politik tukar guling kekuasaaan dan modal) namun hal itu dapat diminimalisir dengan adanya peraturan yang membebaskan lembaga penegak hukum yang berwenang (Kepolisian, KPK, Kejaksaan, dan lain-lain) untuk mencari identitas anggota-anggota DPRD terpilih sekaligus juga diberikan kewenangan untuk melakukan penyadapan (jika perlu) bagi anggota DPRD yang diduga melakukan politik transaksional tersebut.
Apakah dalam pemilihan langsung oleh rakyat yang dianggap sebagai pemilihan yang demokratis itu dapat dianggap bersih dari adanya politik transaksional? Lebih sulit untuk mengetahui terjadinya politik transaksional ketika pemilihan dilaksanakan secara langsung dengan jumlah pihak yang terlibat mencapai jutaan jiwa. Namun, ketika dalam masa-masa pilkada beredar amplop-amplop uang, beras, ataupun kesepakan nantinya diberikan bantuan pembangunan desa, pembangunan jalan jika memilih tokoh tertentu maka dapat dipastikan bahwa pemilih menyerahkan hak pilihnya untuk ditukar dengan amplop, beras dan janji muluk-muluk tersebut. Sedangkan pemilihan kepala daerah melalui DPRD mempunyai keuntungan hanya sedikit orang yang harus diawasi dalam proses itu sehingga pengawasannya jauh lebih mudah, apalagi pihak yang berkewenangan diberikan kebebasan untuk melakukan pemeriksaan sesuai prosedur hukum yang berlaku. Janji muluk-muluk sebenarnya tidak diperlukan bagi seorang pemimpin untuk dijabarkan dalam masyarakat karena memang pemimpin berkewajiban untuk mengayomi masyarakatnya dan melakukan pembangunan yang diperlukan untuk daerahnya, dalam arti lebih luas pemimpin adalah pelayan masyarakat yang berkewajiban menjaga dan mengembangkan aset di wilayahnya.
Pada ilmu Akuntansi dalam pembelajaran Audit, ada tiga resiko mendasar dalam sebuah pemeriksaan. Tiga resiko ini merupakan resiko yang ada dalam setiap pemeriksaaan khususnya dalam laporan keuangan, namun hal ini juga dapat dikaitkan dengan pemeriksaaan dokumen dan informasi lainnya. Pertama adalah resiko bawaan (Inheren Risk) yang terkait dengan resiko kesalahan yang ada dalam laporan keuangan, kedua adalah resiko pemeriksaan yang terkait dengan kemampuan optimal seorang pemeriksa (auditor) untuk menyelesaikan tugasnya dengan baik. Sedangkan resiko ketiga adalah resiko yang tidak dapat diperhitungkan secara matematis diawal, namun terjadi ketika pemeriksaan sedang dilakukan atau disebut sebagai Un-predictable risk.
Resiko-resiko ini saling terkait satu dengan yang lainnya, coba kita berfikir secara komprehensif membandingkan tiga resiko ini dalam proses pilkada yang dilaksanakan secara langsung dan lewat DPRD. Resiko bawaan di dalam pilkada melalui pilkada langsung mempunyai risiko yang besar, diluar adanya politik transaksional yang lebih sulit untuk diawasi, juga besarnya kuantitas pihak yang terlibat dalam pilkada ini mengakibatkan sulitnya memeriksa satu persatu pihak-pihak terkait yang diduga melakukan “kesalahan”. Modal yang dikeluarkan dalam pemilihan langsung juga sangat besar dalam bentuk kampanye dan lain-lain sehingga terdapat resiko modal yang dikeluarkan merupakan modal yang dionok-onoke (diada-adakan) dan bersumber dari jalan yang kurang baik. Sedangkan pemilihan lewat DPRD adalah pemilihan yang ringan karena hanya sedikit pihak-pihak yang terlibat (pemimpin yang akan dipilih dan anggota DPRD), resiko yang paling tinggi dalam pemilihan model ini adalah masalah kepentingan dalam memilih kepala daerah yang cocok dengan kehendak rakyat. Selain itu dari segi ekonomi, UU pilkada yang baru ini merupakan peraturan yang membawa angin segar kepada daerah-daerah yang kurang mempunyai pendapatan yang tidak terlalu tinggi untuk lebih memfokuskan dananya kepada pembangunan dan pengembangan SDM di daerahnya, dapat dicontohkan untuk wilayah Sumatera Barat yang PAD (Pendapatan Asli Daerah) hanya sebesar 30% dari total belanjanya (buku “titik-titik kisar perjalananku” oleh Ahmad Syafi’i Ma’arif) Daerah-daerah dengan sumber dana terbatas seperti ini memang harus diberi opsi lain selain menyelenggarakan pemilihan umum yang menyedot banyak biaya.
Yang kedua adalah mengenai masalah pihak pemeriksa (Kejaksaan dan KPK contohnya) mempunyai sumber daya yang terbatas. Ketika pemilihan dilaksanakan secara langsung sangat sulit untuk melakukan pemeriksaaan ke daerah-daerah dengan pihak terlibat yang sedemikian besarnya, hal itu dapat diminimalisir dengan adanya pemilihan lewat DPRD yang hanya “sejumput” pihak saja yang terlibat sehingga dapat dicover oleh kewenangan dan sumber daya KPK ataupun lembaga lain yang berwenang, diluar itu penambahan kewenganan berupa memperbolehkan mengambil identitas secara lebih massif kepada anggota-anggota DPRD terpilih sekaligus memperbolehkan untuk menyadap pun saya rasa hal itu makin memperkuat posisi pihak-pihak berwenang untuk menjaga kedaulatan rakyat dalam pemilihan secara perwakilan ini. 
Unpredictable risk merupakan resiko yang tidak dapat dipastikan diawal seperti sekarang karena UU pilkada masih belum berjalan sehingga nanti saja kita akan lihat bagaimana undang-undang ini dapat berjalan dan “kekurangan” apa saja yang terjadi.
Jikalau kita meminta sebuah hukum demokrasi yang memberikan jargon dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat maka Kita juga harus ingat bahwa kita bukanlah negara-negara barat yang full democracy. Kita adalah negara republik Indonesia yang menjunjung tinggi musyawarah untuk mencapai mufakat dalam pengambilan keputusan. Di Indonesia sendiri pemilihan kepala suku atau tetua adat juga menggunakan demokrasi keterwakilan dengan adanya dewan adat dan lain-lain. Mereka-merekalah yang memilih dan menimbang seorang pemimpin yang sesuai dengan kontur masyarakatnya.
Selain itu, Pemilihan kepala daerah secara langsung juga menimbulkan resiko dan efek pshikis yang berbahaya, masyarakat mulai diajak untuk masuk dalam ranah politik praktis untuk merebut dan melanggengkan kekuasaan. Maka jangan heran, banyak daerah-daerah yang bergejolak karena beberapa pihak yang terlibat dalam pemilihan daerah tersebut merasa tidak puas dengan hasilnya. Masyarakat dihadapkan pada pertarungan semesta yang sebenarnya hanya merupakan pertarungan politik semata. Masyarakat diajak berfikir bahwa jika pemimpinnya bukan orang ini maka kiamatlah dunia. Sebenarnya hal ini terjadi juga pada masa orde lama yang meng-agung-kan politik, jargon politik sebagai panglima yang berakibat hancur-leburnya perekonomian dan pembangunan Indonesia pada masa akhir kekuasaanya. Inflasi yang tinggi-mengerikan mencapai 650% (buku “tiga puluh tahun Indonesia merdeka” oleh Kesekretariatan Negara Republik Indonesia), pembangunan yang mandek, terpusatnya kekuasaan, dan  pemberontakan di daerah karena merasa didholimi oleh pemerintah pusat. Maka menurut Saya lebih amannya adalah give a job for right people, berikan kerja pada orang yang tepat. Biarlah wakil-wakil kita di DPRD memilih pemimpin yang sesuai dengan kondisi kita, sedangkan kita sebagai warga sipil? Mari bekerja dan membangun serta melakukan pengawasan kepada wakil-wakil kita secara aktif-pasif, hindari dan jangan terbawa pada politik praktis.
Kesimpulan dari tulisan ini adalah untuk menjawab judul artikel diatas. Pemilihan melalui DPRD, kurang Demokratiskah? Menurut Saya pemilihan melalui DPRD adalah pemilihan kepala daerah (pemimpin) yang demokratis, sesuai dengan jiwa bangsa indonesia, dan lebih sedikit mudharatnya dibandingkan pemilihan langsung melalui rakyat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar