Puasa harusnya produktif! Itulah idealnya, namun ternyata
puasa yang hari-hari terakhir ramadhan tahun 2015 dimana persediaan lemak
sebagai cadangan makanan di daging tubuh semakin menipis membuat produktifitas
menurun drastis, khususnya dalam bidang pemikiran dan tulis menulis seperti ini.
Tenaga yang tersisa lebih diprioritaskan untuk kegiatan lain.
Sebelumnya ingat sebuah janji untuk sekedar menulis tentang
teman-teman kelas CB di blog yang sederhana ini, sebagai pengingat kawan-kawan
yang sudah berubah menjadi saudara tesebut kepada Eva. Iya deh nanti saya coba
tulis, tapi temanya apa ya? Yang sesuai dengan minat saya di bidang ilmu
sosial, ekonomi, filsafat, dan ilmu teman-temannya itu. Cerita tentang
perjalanan dan dolen-dolen kita waktu kuliah? Ah tema tentang nostalgia dan romantisme masa lalu itu kurang
seru sepertinya.
Lama berselang akhirnya tema tulisan itu datang ketika ada
acara buka bersama dengan kawan-kawan dan bertemu kembali dengan Bu Pipit. Bu Pipit putri seorang dosen saya,
Islamisme oriented ketika masa kuliahnya
sampai sekarang. Partner yang baik untuk diskusi sekadar membahas masalah
Marxisme dan ke-islaman. Sekarang sudah menjadi ibu dari seorang putra yang
manis. Setelah buber, mendekati saya sambil menggendong putranya. “Bob, PKI
bangkit lagi di kampus-kampus ya?” Melongo sejenak. “Masak Bu Pipit? Tau
darimana?” Singkat kata, ternyata Bu Pipit baru saja menghadiri sebuah acara di
lingkungan kampus (sebuah kampus diluar kampus UB menurut Bu Pipit) dan
ternyata ada beberapa narasumber (atau peserta?) yang mengungkit-ungkit lagi
tema sosialisme dari Mbah Marx (Karl Marx). Dan tentunya dengan penjelasan
disertai dengan semangat yang menggebu-gebu (menurut Bu Pipit), dan tentunya
siapa lagi yang harus diberitahu ‘berita penting’ ini oleh Bu Pipit selain
saya. Okelah.
Terkejut? Tidak sama sekali, Marxisme adalah sebuah gagasan
yang dapat pengaruh-mempengaruhi di dalam pikiran setiap orang. Meskipun
terlihat ‘mati suri’ pada zaman Orde Baru (1965-1998) nyatanya ketika jaman
berubah, orang-orang yang terpengaruh oleh pemikiran Mbah Marx juga bermunculan
laksana jamur di musim angin barat.
Inilah uniknya kepala setiap manusia, rambut boleh sama hitam namun dalamnya
pikiran dan hati siapa yang tahu? Dan diera kebebasan dan reformasi inipun
hampir-hampir mustahil untuk mengekang setiap informasi yang ada. Maka setelah
sebelumnya versi tentang PKI dan Marxisme hanya didapat dari saluran
pemerintah, maka sekarang diberikan kebebasan seluas-luasnya untuk mengenalkan
versi alternatif dari versi pemerintah tersebut. Disertai dengan
‘hembusan-hembusan’ beberapa media yang ‘pro’ terhadap paham ini dan dengan
getolnya mem-publish versi alternatif ataupun paham Marxisme ini tentunya hal
itu menjadi semacam jaring untuk membuat orang tertarik untuk mempelajarinya.
Apakah hanya paham Marxisme saja? Tidak juga, semua paham juga diberikan ruang
dan kebebasan yang sama, Liberalisme dan Radikalisme pun dapat menebarkan
jaring-jaring ini dengan memanfaatkan bebasnya media dewasa ini.
Diluar hal itu, gairah kaum muda untuk mempelajari sesuatu
yang baru dan memilah-milah suatu kejadian berdasarkan versi alternatif turut
pula menyuburkan ketertarikan banyaknya orang yang akhirnya mempelajari paham
Marxisme ini. Siapa yang tidak senang dengan jargon awal-awal PKI tentang “sama
rata, sama rasa”nya. Semua orang tentu tidak mau dipandang sebelah mata, tidak
dilihat dari besarnya ‘duit’ yang dimiliki seperti paham Kapitalisme dan
Liberalisme, semua manusia ingin dipandang sebagai manusia yang sama,
di-uwong-ke, istilah jawa-nya. Dan sayangnya nilai-nilai ideal tersebut sangat
sulit tercipta di dunia nyata. Mungkin arah untuk mendekat kesana ada, namun
dalam kriteria “sama rata, sama rasa” yang ideal masih belum dapat terpenuhi.,
namun tetap saja jargon-jargon tersebut menarik minat juga bagi sebagian
kalangan.
Entah lah apa semua orang juga mengalami hal ini, namun ada
masa-nya didalam jiwa setiap manusia seperti muncul sebuah pertanyaan
mengenai “mengapa ada sebagian orang
kaya dan yang lain miskin?”,”mengapa di dunia ini ada kesenangan dan
kesedihan?” dan pertanyaan lain sebagainya. Bagi anak-anak muda tentu saja dari
pertanyaan-pertanyaan ini akan selalu mengharap jawabnya. Beruntunglah dia jika
mempunyai orang tua yang konsen terhadap perkembangan putra-putrinya ataupun
beruntunglah dia yang melarikan dirinya ke kubangan kebaikan (bukan yang
menurutnya baik) dalam segi agama dengan bertemu guru yang ikhlas membagi
ilmunya dan menghindarinya dari konsep-konsep berfikir radikal. Namun ternyata
orang tua yang konsen terhadap perkembangan mental dan pikiran anak-anaknya pun
tidak banyak. Pun juga jangan terlalu banyak mengharapkan anak muda yang
memilih ‘berkubang’ kembali ke dalam hal-hal kebaikan di masa-masa darah masih
fresh dansegala kesenangan hidup menjadi
pokok utama dalam pencariannya.
Dari luar, Marxisme menawarkan pemikiran yang praktis. Hal
itu dapat dilihat dari dihilangkannya “unsur-unsur gaib” di dalam dasar
berfikir Marxisme. Unsur-unsur gaib tersebut tentunya meliputi segala unsur
diluar unsur eksak, diantaranya; agama. Agama tentu sangat terkait dengan makna
ke-Tuhan-an itu sendiri karena di dalam agama kebaikan apapun yang dilakukan
selalu mengharap berkah dari Tuhannya. Tentunya sangat sulit bagi orang yang
tidak mengimani Tuhannya untuk mengharap berkah dari Tuhan yang sama-sekali
tidak dikenalnya. Marx sendiri memandang agama sebagai ‘pengganggu’ saja bagi
umat manusia dari mengindarkan masalah-masalah hidupnya. Ada sebuah quotes yang
sangat terkenal dari Mbah Marx mengenai
agama:
“agama adalah tanda dari makhluk-makhluk yang lemah, tanda
dari dunia yang tak berhati, dan tanda dari kondisi tak berjiwa. Agama adalah
candu bagi masyarakat”
Menggantungkan
sesuatu hal pada Tuhan yang gaib dipandang oleh Marx sebagai ‘kecacatan’ dalam
manusia, lebih-lebih secara luas dipandang sebagai ‘kecacatan’ dan dapat
mengganggu perkembangan umat manusia. Agama dianalogikan sebagai candu atau
opium yang dapat mengganggu mental masyarakat dan membuat masyarakat lepas dari
segala permasalahan hidupnya untuk ‘bermain-main’ di alam opium yang memabukkan.
Maka dari itulah, segala pemikiran Karl Marx akan menafikkan
seluruh unsur-unsur gaib dan lebih mengedepankan materialitas juga logika.
Segala hal diluar logika dan materialitas akan ditolak mentah-mentah. Memang
dalam hal ini Karl Marx membentuk pemikirannya sendiri yang sedikit berbeda
dengan Hegel mengenai masalah ke-Tuhan-an nya.
Dan tentunya hal ini (dasar pemikiran materialitas dan
logika) juga dapat menarik simpati dan keingin tahuan yang besar dari manusia
yang ingin menjalani hidup dengan mengedepankan unsur-unsur tersebut. Apakah
hal yang paling utama dalam hidup ini jika dipikirkan secara materi? Tentunya
rumah, pakaian, dan makanan yang melimpah-ruah, dan itu semua dapat diperoleh
dengan pekerjaan yang baik, maka dimanakah fungsi Tuhan yang kita sembah? Apakah
Tuhan dapat mencukupi kebutuhan kita dengan unsur-unsur gaib nya? Hal ini
seperti logika jika A maka B dan B maka C. Maka diperoleh A maka C.
Jika “Saya bekerja” maka “saya sejahtera” dan “saya
sejahtera” maka “saya hidup”. Maka diperoleh jika “saya bekerja” maka “saya
hidup”. Tidak ada unsur-unsur ke-Tuhan-an disitu, yang diperlukan adalah saya
bekerja untuk hidup, diantara keduanya ada kesejahteraan kelimpahan materi.
Inilah fungsi praktis yang membuat pemikiran Karl Marx terus
mendapat tempat di setiap insan manusia. Unsur Materialitas dapat langsung
dilihat mata lahir yang berarti hasil melimpah-ruahnya materi yang didapat
itulah kriteria dari keberhasilan unsur materialitas ini. Dalam konsep
anak-anak muda tentunya pola berfikir seperti ini sangat menarik, mengingat
tidak ada yang lebih bahagia dari manusia-manusia muda tersebut selain dapat
mencukupi kebutuhannya sendiri bahkan cenderung menghambur-hamburkannya.
Kelimpahan materi harus didapat dari sumber-sumber materi dan tentunya
diusahakan dengan materi juga. Tidak ada konsep ke-Tuhan-an kembali disini.
Dari pembahasan saya diatas, maka tidaklah mungkin gagasan
seperti Marxisme dapat dihancur-leburkan tak tersisa. Mungkin kaum-kaum muda
yang mencari jati dirinya dengan banyak membaca dan mencari gagasan ini akan
menjadi pendukung setianya bahkan dapat pula bersifat militan dalam bentuk mendukung habis-habisan paham ini atau mungkin dapat pula menjadi musuh besarnya. Tak apa, inilah dia generasi Young Punk!* Anak muda
memang bersifat seperti itu, di dalam pencarian dirinya yang kadang berbahaya
turut pula pencarian terhadap konsep-konsep hidup yang akan digunakannya.
Konsep tersebut termasuk konsep ideologis dan politis seperti yang dahulu
pernah saya tulis di artikel "Pemuda dan isme-isme dalam prespektif politik Masa Depan", kenapa idea politis dikaitkan dengan unsur-unsur ideologis? Karena
politik adalah ilmu mengenai kehendak, mau ‘dikemanakan’ arah tujuan yang ingin
dicapai dan usaha-usaha apa yang harus dilakukan, itulah diantara essen dari ilmu politik.
Namun lama dan lama
kemudian di dalam menjalani hidup jikalau manusia-manusia tersebut adalah insan
yang berfikir maka dia akan timbang-menimbang konsep-konsep yang dijalankannya
dengan hasil yang dia dapat. Tentunya hasil ini adalah hasil pengalaman
material dan sprituil yang didapatkan setelah menjalani kehidupan dengan
menggunakan ‘konsep-konsep’ tersebut. Orang yang dapat berfikir dan yang telah
menjadi dewasa dalam hal pemikirannya tentu saja tidak akan lagi menggunakan
konsep-konsep yang malah merugikan dirinya tersebut, nantinya konsep-konsep
tersebut juga akan ditinggalkannya sendiri, jika manusia yang
‘meng-amal-kannya’ merasa sudah tidak cocok bukan?
Dan itulah akhir dari kisah ini, di sebuah rumah makan yang
ramai dan setelah mendapat ‘berita penting’ dari Bu Pipit tersebut selama
merenung saya berfikir, ah generasi Young Punk! Saya jadi melihat diri saya
sendiri dahulu dalam cerita Bu Pipit tersebut. Okelah.
*young punk:
bahasa inggris slang untuk menyebut anak-anak muda yang sedang mencari jati
dirinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar