Sabtu, 01 Agustus 2015

Islam Nusantara; Berbahaya bagi Kesatuan umat di masa Mendatang


sumber gambar "kotak-kotak": www.bertutur.com
dengan edit dari Microsoft Paint

Oleh: Bobby Rizky Irawan

Beberapa  minggu ataupun beberapa bulan ini sedang ramai dibicarakan isyu mengenai Islam Nusantara. Islam Nusantara dipandang sebagai perubahan wajah islam dengan corak budaya nusantara dengan masyarakat yang heterogen seperti Indonesia. Islam Nusantara dipandang sebagai konsep yang berbeda dengan  islam “Arab” seperti yang terlihat pada wajah-wajah ke-islam-an di timur tengah yang selalu bercekcok. Islam Nusantara dianggap sebagai jalan “Islam yang terbaik” karena dapat mengakomodasi segala ke-warna-warni-an bangsa Indonesia namun tetap padu dan sangat jarang terjadi konflik; khususnya keagamaan.


Secara teori dan fakta memang benar. Islam di Indonesia sangat jarang berkonflik, rukun saja sesamanya dan rukun saja antar pemeluk agama lain. Meskipun beberapa kali terjadi sedikit benturan atas nama agama ataupun sosial, namun tetp saja jalan tengah yang damai masih dapat mempersatukan konflik-konflik kecil seperti itu. Suasananya memang berbeda dengan situasi di timur tengah yang terkadang sesama pemeluk agama islam pun harus melaksanakan perang saudara jika terjadi konflik-konflik kecil. Namun apakah memang seperti itulah perbedaan mengenai Islam Nusantara dan Islam “arab”? Sedangkan yang saya tahu di Al-quran sendiri tidak ada Islam Nusantara ataupun Islam Arab yang ada hanyalah Islam (saja) sebagai agama Rahmatan Lill alamin, Agama yang membawa rahmat bagi seluruh alam. tentunya bukan hanya alam manusia yang didalamnya terdapat makhluk hidup lain semacam hewan dan tumbuhan, namun juga alam lain; alam gaib yang dihuni jin-jin pun mendapat rahmat dari turunnya islam (Silahkan baca QS. Al-Ahqsa: 29 dan beberapa hadis shahih pertemuan Rasullah Muhammad SAW dengan golongan bangsa jin)

Kata Islam (saja) saya kira cukup pantas untuk menjelaskan misi agama ini untuk memberi  rahmat yang jauh lebih luas dan lebih umum daripada hanya sekedar menggunakan istilah islam Nusantara yang terlihat seperti sebuah konsep yang berbeda dari islam itu sendiri. Meskipun secara ke-Tauhid-an tidak ada yang berbeda; sama-sama La illahaillah, Muhamadar Rasulllah, namun tetap saja terasa seperti “peng-kotak-kotak-an” islam.

Peng-kotak-kotak-an itu terasa  seperti ; “Inilah Islam Nusantara, Islam yang lahir dari jiwa bangsa Indonesia yang tidak suka berkonflik dan hidup dalam kegotong-royongan dan menyelesaikan masalah dengan musyarawah”. Namun lama kemudian ada umat dari bangsa lain bertanya, “Nilai-nilai bangsa anda seperti gotong-royong dan musyawarah tidak kami kenal dan bangsa kami jika ada pemimpin yang dzolim “menurut kami” tentu saja akan kami perangi. Maka Islam apa yang kami pakai?”. “Oh mungkin anda lebih cocok dengan Islam “Arab””. “Tetapi, ada beberapa nilai-nilai yang kami juga tidak sesuai dengan Islam “Arab” maka bolehkan kami melihat islam dengan versi kami sendiri”. “.....” (terdiam).

Kemungkin kejadian seperti saya ceritakan diatas tidak terjadi pada tahun-tahun awal setelah pengangkatan tema “Islam Nusantara” tersebut. Pada masa-masa awal orang-orang masih mahfum bahwa Islam Nusantara hanya sekedar istilah saja dan tidak ada bedanya dengan Islam “Arab”, namun bagaimana dengan generasi sesudahnya dan generasi-generasi sesudahnya? Ketika istilah “pengkotak-kotak-an islam” itu semakin meresap ke setiap generasi selanjutnya, sedangkan generasi pencetus istilah islam nusantara sudah “lenyap” dari dunia dan tidak dapat memberikan pemahaman yang lebih baik mengenai istilah-istilah tersebut.

Istilah-istilah baru semacam “Islam Nusantara” bukankah malah semakin me-lenyap-kan rasa “kaki terantuk batu, mata pun turut menangis” pada umat islam di masa-masa yang akan datang. Kita saat ini masih dapat  melihat islam dan umatnya diseluruh bagian dunia sebagai bagian dari kesatuan tubuh yang utuh. Umat islam diseluruh dunia menangis dan membela ketika umat islam di wilayah Palestina mendapat perlakuan yang buruk dari tentara Israel. Pun begitu, semua umat islam membela ketika umat islam Myanmar mendapat perlakuan buruk serupa dari pemerintahan militernya, hal itupun terjadi di Muslim Uighur Cina dan semua umat-pun serta-merta mengutuk tindakan buruk semacam itu.

Namun, ketika pada masa generasi-generasi mendatang yang melihat istilah “peng-kotak-kotak-an islam” tentunya akan mengurasi rasa satu tubuh dalam ke-islam-an itu sendiri. Setelah sebelumnya; engkau yang bersayahadat bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan nabi Muhammad adalah Rasul-Nya dan engkau yang mau mengerjakan lima rukun islam dan percaya pada enam rukun iman, Al-quran dan Hadis Nabi Muhammad adalah pegangan hidupmu, maka engkau adalah saudaraku dan aku adalah saudara-mu. kita satu tubuh dalam islam. Maka saat itu dapat pula berubah engkau dan aku sama-sama islam, namun kita berbeda konsep dan pemikiran (bahkan budaya) oleh karena itu kita berbeda. Tentunya hal ini dapat men-degradasi persatuan umat islam itu sendiri pada masa-masa yang akan datang.

Akan timbul pemikiran saling menyalahkan karena dianggap umat-umat yang mengalami kesulitan dan terus berkonflik tersebut bukanlah bagian dari “umat kita”, islam bukan lagi merupakan satu tubuh yang padu melainkan terpecah-pecah dengan umatnya masing-masing dan islam versinya sendiri-sendiri. Hal ini sangat mengerikan bagi persatuan umat islam di masa yang akan datang, dan ngerinya! Hal ini dimulai pada saat ini (tahun 2015) ketika peringatan Nuzulul Quran di istana negara men’dendangkan’ Qori Qur’an dengan langgam Jawa. Mungkin di masa-masa mendatang ada pula Qoriah yang men’dendangkan’ Al Qur’an dengan irama dangdut karena dinilai dangdut menjadi budaya bangsa yang menjadi ciri khas dari Islam Nusantara ini. Betapa ngerinya. Akhir-akhirnya terjadi resistensi budaya islam yang dianggap menjadi bagian budaya “Arab” dan enggan untuk digunakan di wilayah nusantara ini. Betapa pada masa tersebut, islam yang ‘harus mengalah’ dengan adat istiadat atau budaya regional akhirnya juga akan memecahkan umat islam yang sudah besar ini.

Ketika Hal tersebut terjadi maka sampailah kepada ucapan Rasullah Muhammad SAW bahwa umat islam akhir zaman seperti buih di lautan. Memang banyak! tetapi tidak padu dan lemah sehingga mudah “diombang-ambingkan” oleh musuh-musuh islam yang lebih kuat. Inilah segenap pemikiran dan kekuatiran penulis mengenai isyu “islam nusantara” ini. penulis juga berharap bahwa umat-umat islam di Indonesia dapat “menasehati dan saling menjaga dalam kebaikan” antara sesama umat islam, khususnya bagi umat salah satu organisasi kegamaan terbesar di Indonesia yang mengangkat isyu “islam nusantara” ini dalam Muktamarnya. Menurut pandangan pribadi penulis,  memang lebih baik jika TIDAK menggunakan istilah-istilah baru semacam “islam nusantara”, penulis berpendapat alangkah  lebih baik-nya jika menggunakan istilah  islam (saja) atau islam sebagai agama Rahmatan Lil Alamin yang istilah tersebut dapat ditemukan di Al-Quran yang menjadi “pegangan” bagi semua umat islam di seluruh dunia.


http://bobbyykzir.blogspot.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar