sumber gambar "kotak-kotak": www.bertutur.com
dengan edit dari Microsoft Paint
Oleh: Bobby Rizky
Irawan
Beberapa
minggu ataupun beberapa bulan ini sedang ramai dibicarakan isyu mengenai
Islam Nusantara. Islam Nusantara dipandang sebagai perubahan wajah islam dengan
corak budaya nusantara dengan masyarakat yang heterogen seperti Indonesia.
Islam Nusantara dipandang sebagai konsep yang berbeda dengan islam “Arab” seperti yang terlihat pada
wajah-wajah ke-islam-an di timur tengah yang selalu bercekcok. Islam Nusantara
dianggap sebagai jalan “Islam yang terbaik” karena dapat mengakomodasi segala
ke-warna-warni-an bangsa Indonesia namun tetap padu dan sangat jarang terjadi
konflik; khususnya keagamaan.
Secara teori dan fakta memang benar. Islam di
Indonesia sangat jarang berkonflik, rukun saja sesamanya dan rukun saja antar
pemeluk agama lain. Meskipun beberapa kali terjadi sedikit benturan atas nama
agama ataupun sosial, namun tetp saja jalan tengah yang damai masih dapat
mempersatukan konflik-konflik kecil seperti itu. Suasananya memang berbeda
dengan situasi di timur tengah yang terkadang sesama pemeluk agama islam pun
harus melaksanakan perang saudara jika terjadi konflik-konflik kecil. Namun
apakah memang seperti itulah perbedaan mengenai Islam Nusantara dan Islam
“arab”? Sedangkan yang saya tahu di Al-quran sendiri tidak ada Islam Nusantara
ataupun Islam Arab yang ada hanyalah Islam (saja) sebagai agama Rahmatan Lill
alamin, Agama yang membawa rahmat bagi seluruh alam. tentunya bukan hanya alam
manusia yang didalamnya terdapat makhluk hidup lain semacam hewan dan tumbuhan,
namun juga alam lain; alam gaib yang dihuni jin-jin pun mendapat rahmat dari
turunnya islam (Silahkan baca QS. Al-Ahqsa: 29 dan beberapa hadis shahih pertemuan Rasullah
Muhammad SAW dengan golongan bangsa jin)
Kata Islam (saja) saya kira cukup pantas untuk
menjelaskan misi agama ini untuk memberi
rahmat yang jauh lebih luas dan lebih umum daripada hanya sekedar
menggunakan istilah islam Nusantara yang terlihat seperti sebuah konsep yang
berbeda dari islam itu sendiri. Meskipun secara ke-Tauhid-an tidak ada yang
berbeda; sama-sama La illahaillah, Muhamadar Rasulllah, namun tetap saja terasa
seperti “peng-kotak-kotak-an” islam.
Peng-kotak-kotak-an itu terasa seperti ; “Inilah Islam Nusantara, Islam yang
lahir dari jiwa bangsa Indonesia yang tidak suka berkonflik dan hidup dalam
kegotong-royongan dan menyelesaikan masalah dengan musyarawah”. Namun lama kemudian
ada umat dari bangsa lain bertanya, “Nilai-nilai bangsa anda seperti
gotong-royong dan musyawarah tidak kami kenal dan bangsa kami jika ada pemimpin
yang dzolim “menurut kami” tentu saja akan kami perangi. Maka Islam apa yang
kami pakai?”. “Oh mungkin anda lebih cocok dengan Islam “Arab””. “Tetapi, ada beberapa
nilai-nilai yang kami juga tidak sesuai dengan Islam “Arab” maka bolehkan kami
melihat islam dengan versi kami sendiri”. “.....” (terdiam).
Kemungkin kejadian seperti saya ceritakan
diatas tidak terjadi pada tahun-tahun awal setelah pengangkatan tema “Islam Nusantara” tersebut. Pada masa-masa awal orang-orang masih mahfum bahwa Islam Nusantara hanya sekedar istilah saja dan tidak ada bedanya dengan Islam “Arab”,
namun bagaimana dengan generasi sesudahnya dan generasi-generasi sesudahnya? Ketika
istilah “pengkotak-kotak-an islam” itu semakin meresap ke setiap generasi
selanjutnya, sedangkan generasi pencetus istilah islam nusantara sudah “lenyap”
dari dunia dan tidak dapat memberikan pemahaman yang lebih baik mengenai
istilah-istilah tersebut.
Istilah-istilah baru semacam “Islam Nusantara” bukankah
malah semakin me-lenyap-kan rasa “kaki terantuk batu, mata pun turut menangis”
pada umat islam di masa-masa yang akan datang. Kita saat ini masih dapat melihat islam dan umatnya diseluruh bagian
dunia sebagai bagian dari kesatuan tubuh yang utuh. Umat islam diseluruh dunia
menangis dan membela ketika umat islam di wilayah Palestina mendapat perlakuan
yang buruk dari tentara Israel. Pun begitu, semua umat islam membela ketika umat islam Myanmar mendapat
perlakuan buruk serupa dari pemerintahan militernya, hal itupun terjadi di Muslim Uighur Cina dan
semua umat-pun serta-merta mengutuk tindakan buruk semacam itu.
Namun, ketika pada masa generasi-generasi
mendatang yang melihat istilah “peng-kotak-kotak-an islam” tentunya akan mengurasi
rasa satu tubuh dalam ke-islam-an itu sendiri. Setelah sebelumnya; engkau yang
bersayahadat bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan nabi Muhammad adalah
Rasul-Nya dan engkau yang mau mengerjakan lima rukun islam dan percaya pada
enam rukun iman, Al-quran dan Hadis Nabi Muhammad adalah pegangan hidupmu, maka
engkau adalah saudaraku dan aku adalah saudara-mu. kita satu tubuh dalam islam.
Maka saat itu dapat pula berubah engkau dan aku sama-sama islam, namun kita
berbeda konsep dan pemikiran (bahkan budaya) oleh karena itu kita berbeda.
Tentunya hal ini dapat men-degradasi persatuan umat islam itu sendiri pada
masa-masa yang akan datang.
Akan timbul pemikiran saling menyalahkan karena
dianggap umat-umat yang mengalami kesulitan dan terus berkonflik tersebut
bukanlah bagian dari “umat kita”, islam bukan lagi merupakan satu tubuh yang
padu melainkan terpecah-pecah dengan umatnya masing-masing dan islam versinya
sendiri-sendiri. Hal ini sangat mengerikan bagi persatuan umat islam di
masa yang akan datang, dan ngerinya! Hal ini dimulai pada saat ini (tahun 2015)
ketika peringatan Nuzulul Quran di istana negara men’dendangkan’ Qori Qur’an
dengan langgam Jawa. Mungkin di masa-masa mendatang ada pula Qoriah yang
men’dendangkan’ Al Qur’an dengan irama dangdut karena dinilai dangdut menjadi
budaya bangsa yang menjadi ciri khas dari Islam Nusantara ini. Betapa ngerinya.
Akhir-akhirnya terjadi resistensi budaya islam yang dianggap menjadi bagian
budaya “Arab” dan enggan untuk digunakan di wilayah nusantara ini. Betapa pada
masa tersebut, islam yang ‘harus mengalah’ dengan adat istiadat atau budaya
regional akhirnya juga akan memecahkan umat islam yang sudah besar ini.
Ketika Hal tersebut terjadi maka sampailah
kepada ucapan Rasullah Muhammad SAW bahwa umat islam akhir zaman seperti buih
di lautan. Memang banyak! tetapi tidak padu dan lemah sehingga mudah
“diombang-ambingkan” oleh musuh-musuh islam yang lebih kuat. Inilah segenap
pemikiran dan kekuatiran penulis mengenai isyu “islam nusantara” ini. penulis juga berharap
bahwa umat-umat islam di Indonesia dapat “menasehati dan saling menjaga dalam
kebaikan” antara sesama umat islam, khususnya bagi umat salah satu organisasi
kegamaan terbesar di Indonesia yang mengangkat isyu “islam nusantara” ini dalam
Muktamarnya. Menurut pandangan pribadi penulis, memang lebih baik jika TIDAK menggunakan
istilah-istilah baru semacam “islam nusantara”, penulis berpendapat alangkah lebih baik-nya jika menggunakan istilah islam (saja) atau islam sebagai agama Rahmatan
Lil Alamin yang istilah tersebut dapat ditemukan di Al-Quran yang menjadi “pegangan”
bagi semua umat islam di seluruh dunia.
http://bobbyykzir.blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar