Mulai
Hari Kamis tanggal 25 September sampai hari jumat dini hari tanggal 26
September 2014 kemarin, Anggota DPR bersidang untuk memutuskan beberapa
rancangan Undang-Undang (RUU) yang akan disahkan menjadi Undang-Undang (UU) diantaranya
adalah RUU keperawatan dan RUU pilkada. Perumusan RUU menjaid UU keperawatan
berjalan muluuuss, tetapi ketika pembahasan dan pengesahan RUU pilkada
segalanya berjalan dengan alot.
Ada
tiga opsi yang diangkat dalam sidang ini, opsi pertama adalah pemilihan kepala
daerah dilaksanakan secara langsung oleh rakyat, opsi kedua pemilihan kepala
daerah lewat wakil rakyat di DPRD, dan opsi ketiga adalah opsi tambahan dari
fraksi partai Demokrat yakni pemilihan langsung oleh rakyat dengan
syarat-syarat mutlak yang harus diterima
dan dilaksanakan.
Karena
Fraksi dari partai Demokrat mempunyai jumlah suara yang besar (Partai Demokrat
memenangi pemilu tahun 2009) maka dapat dipastikan suara partai ini berpengaruh
sangat besar dalam pengambilan keputusan mengenai RUU pilkada ini, jika
pengambilan keputusan dilaksanakan dengan cara pengambilan suara (voting). Jika
partai Demokrat mendukung koalisi “enteng” Jokowi-JK yang dipimpin oleh PDI-P
suara yang dihasilkan mungkin akan menyamai koalisi merah-putih yang didukung
oleh partai-partai “gajah”. Tetapi akhirnya, Partai Demokrat lebih memilih
Abstain dan bersifat netral dengan cara walkout (keluar) dari proses
pengambilan keputusan sebelum voting dimulai. Akhirnya PDI-P yang didukung oleh partai-partai “enteng” di
parlemen menjadi kalah dalam proses pengambilan suara. Partai-partai yang
mendukung pilkada melalui DPRD memenangkan proses voting dan akhirnya pemilihan
kepada daerah (pilkada) untuk masa-masa yang akan datang pun akan melalui DPRD.
Salahkah
jika pilkada melalui DPRD? Tidak ada yang salah sebenarnya jika kita kembali
kepada Undang-Undang Dasar 1945 karena di dalam undang-undang ini
mengisyaratkan pemilihan yang bersifat langsung (pemilihan umum) adalah
pemilihan yang memilih paket presiden dan wakil presiden serta pemilihan wakil
rakyat di parlemen (pemilihan legislatif). Sedangkan pemilihan kepala daerah
(pilkada) sendiri diisyaratkan dipilih secara demokratis. Kata-kata dipilih
secara demokratis itu sendirilah yang menjadi sebuah polemik, apakah pemilihan
yang dilaksanakan secara demokratis itu adalah pemilihan kepala daerah yang
dipilih secara langsung oleh rakyat ataukah pemilihan yang menghasilkan
pemimpin daerah lewat wakil-wakil rakyat di DPRD juga disebut sebagai pemilihan
yang demokratis?
Sebuah
hukum dan peraturan memang berbeda dengan sebuah karya sastra meskipun
sama-sama berupa tulisan. Kata-kata dalam sebuah karya sastra dapat
bermetamorfosa menjadi beberapa makna tergantung dari penafsiran. Sedangkan
hukum dan peraturan harus meminimalisir segala-bentuk perbedaan penafsiran
tersebut. Hukum dan peraturan adalah hitam atau putih dan menghindari wilayah
abu-abu. Jika dilihat dari kata-kata pemilihan dilaksanakan secara demokratis
tanpa dijabarkan lebih lanjut dilaksanakan melalui jalur apa (langsung rakyat
atau perwakilan rakyat di DPRD) secara yuridiksi (peraturan) koalisi
merah-putih yang memenangkan peraturan pilkada melalui DPRD tidak dapat dikatakan
sebagai pihak yang bersalah. Pemilihan lewat DPRD diperbolehkan, karena
peraturan berkata demikian, yang tidak boleh adalah ketika pemilihan presiden
juga diserahkan pada perwakilan karena di dalam peraturan pemilihan presiden
diserahkan kepada rakyat secara langsung.
Lagipula,
pemilihan lewat DPRD dirasa lebih cocok untuk menjalankan sila keempat
Pancasila , yakni: Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan perwakilan. Kata-kata yang perlu digaris bawahi adalah
permusyawaratan perwakilan, dimanakah tempat untuk mengadakan musyawarah untuk
mencapai mufakat jika seluruh rakyat menginginkan suaranya untuk didengar dalam
proses pemilihan pemimpinnya? Bukannya lebih baik jika kita yang telah memilih
wakil-wakil kita di DPRD memberikan kewenangan bagi mereka untuk bermusyawarah
memilih seorang pemimpin. Dalam UU pilkada yang baru ini, peraturan juga tidak
menafikkan adanya resiko politik transaksional (politik tukar guling kekuasaaan
dan modal) namun hal itu dapat diminimalisir dengan adanya peraturan yang membebaskan
lembaga penegak hukum yang berwenang (Kepolisian, KPK, Kejaksaan, dan
lain-lain) untuk mencari identitas anggota-anggota DPRD terpilih sekaligus juga
diberikan kewenangan untuk melakukan penyadapan (jika perlu) bagi anggota DPRD
yang diduga melakukan politik transaksional tersebut.
Apakah
dalam pemilihan langsung oleh rakyat yang dianggap sebagai pemilihan yang
demokratis itu dapat dianggap bersih dari adanya politik transaksional? Lebih
sulit untuk mengetahui terjadinya politik transaksional ketika pemilihan
dilaksanakan secara langsung dengan jumlah pihak yang terlibat mencapai jutaan
jiwa. Namun, ketika dalam masa-masa pilkada beredar amplop-amplop uang, beras,
ataupun kesepakan nantinya diberikan bantuan pembangunan desa, pembangunan
jalan jika memilih tokoh tertentu maka dapat dipastikan bahwa pemilih
menyerahkan hak pilihnya untuk ditukar dengan amplop, beras dan janji
muluk-muluk tersebut. Sedangkan pemilihan kepala daerah melalui DPRD mempunyai
keuntungan hanya sedikit orang yang harus diawasi dalam proses itu sehingga
pengawasannya jauh lebih mudah, apalagi pihak yang berkewenangan diberikan
kebebasan untuk melakukan pemeriksaan sesuai prosedur hukum yang berlaku. Janji
muluk-muluk sebenarnya tidak diperlukan bagi seorang pemimpin untuk dijabarkan
dalam masyarakat karena memang pemimpin berkewajiban untuk mengayomi
masyarakatnya dan melakukan pembangunan yang diperlukan untuk daerahnya, dalam
arti lebih luas pemimpin adalah pelayan masyarakat yang berkewajiban menjaga
dan mengembangkan aset di wilayahnya.
Pada
ilmu Akuntansi dalam pembelajaran Audit, ada tiga resiko mendasar dalam sebuah
pemeriksaan. Tiga resiko ini merupakan resiko yang ada dalam setiap
pemeriksaaan khususnya dalam laporan keuangan, namun hal ini juga dapat
dikaitkan dengan pemeriksaaan dokumen dan informasi lainnya. Pertama adalah
resiko bawaan (Inheren Risk) yang
terkait dengan resiko kesalahan yang ada dalam laporan keuangan, kedua adalah
resiko pemeriksaan yang terkait dengan kemampuan optimal seorang pemeriksa
(auditor) untuk menyelesaikan tugasnya dengan baik. Sedangkan resiko ketiga
adalah resiko yang tidak dapat diperhitungkan secara matematis diawal, namun
terjadi ketika pemeriksaan sedang dilakukan atau disebut sebagai Un-predictable risk.
Resiko-resiko
ini saling terkait satu dengan yang lainnya, coba kita berfikir secara
komprehensif membandingkan tiga resiko ini dalam proses pilkada yang
dilaksanakan secara langsung dan lewat DPRD. Resiko bawaan di dalam pilkada
melalui pilkada langsung mempunyai risiko yang besar, diluar adanya politik
transaksional yang lebih sulit untuk diawasi, juga besarnya kuantitas pihak
yang terlibat dalam pilkada ini mengakibatkan sulitnya memeriksa satu persatu
pihak-pihak terkait yang diduga melakukan “kesalahan”. Modal yang dikeluarkan dalam
pemilihan langsung juga sangat besar dalam bentuk kampanye dan lain-lain
sehingga terdapat resiko modal yang dikeluarkan merupakan modal yang dionok-onoke (diada-adakan) dan
bersumber dari jalan yang kurang baik. Sedangkan pemilihan lewat DPRD adalah
pemilihan yang ringan karena hanya sedikit pihak-pihak yang terlibat (pemimpin
yang akan dipilih dan anggota DPRD), resiko yang paling tinggi dalam pemilihan
model ini adalah masalah kepentingan dalam memilih kepala daerah yang cocok
dengan kehendak rakyat. Selain itu dari segi ekonomi, UU pilkada yang baru ini
merupakan peraturan yang membawa angin segar kepada daerah-daerah yang kurang
mempunyai pendapatan yang tidak terlalu tinggi untuk lebih memfokuskan dananya
kepada pembangunan dan pengembangan SDM di daerahnya, dapat dicontohkan untuk
wilayah Sumatera Barat yang PAD (Pendapatan Asli Daerah) hanya sebesar 30% dari
total belanjanya (buku “titik-titik kisar perjalananku” oleh Ahmad Syafi’i
Ma’arif) Daerah-daerah dengan sumber dana terbatas seperti ini memang harus
diberi opsi lain selain menyelenggarakan pemilihan umum yang menyedot banyak
biaya.
Yang
kedua adalah mengenai masalah pihak pemeriksa (Kejaksaan dan KPK contohnya)
mempunyai sumber daya yang terbatas. Ketika pemilihan dilaksanakan secara
langsung sangat sulit untuk melakukan pemeriksaaan ke daerah-daerah dengan
pihak terlibat yang sedemikian besarnya, hal itu dapat diminimalisir dengan
adanya pemilihan lewat DPRD yang hanya “sejumput” pihak saja yang terlibat
sehingga dapat dicover oleh kewenangan dan sumber daya KPK ataupun lembaga lain
yang berwenang, diluar itu penambahan kewenganan berupa memperbolehkan
mengambil identitas secara lebih massif kepada anggota-anggota DPRD terpilih
sekaligus memperbolehkan untuk menyadap pun saya rasa hal itu makin memperkuat
posisi pihak-pihak berwenang untuk menjaga kedaulatan rakyat dalam pemilihan
secara perwakilan ini.
Unpredictable risk merupakan resiko yang tidak dapat
dipastikan diawal seperti sekarang karena UU pilkada masih belum berjalan
sehingga nanti saja kita akan lihat bagaimana undang-undang ini dapat berjalan
dan “kekurangan” apa saja yang terjadi.
Jikalau
kita meminta sebuah hukum demokrasi yang memberikan jargon dari rakyat, oleh
rakyat, dan untuk rakyat maka Kita juga harus ingat bahwa kita bukanlah
negara-negara barat yang full democracy.
Kita adalah negara republik Indonesia yang menjunjung tinggi musyawarah untuk
mencapai mufakat dalam pengambilan keputusan. Di Indonesia sendiri pemilihan
kepala suku atau tetua adat juga menggunakan demokrasi keterwakilan dengan
adanya dewan adat dan lain-lain. Mereka-merekalah yang memilih dan menimbang
seorang pemimpin yang sesuai dengan kontur masyarakatnya.
Selain
itu, Pemilihan kepala daerah secara langsung juga menimbulkan resiko dan efek
pshikis yang berbahaya, masyarakat mulai diajak untuk masuk dalam ranah politik
praktis untuk merebut dan melanggengkan kekuasaan. Maka jangan heran, banyak
daerah-daerah yang bergejolak karena beberapa pihak yang terlibat dalam
pemilihan daerah tersebut merasa tidak puas dengan hasilnya. Masyarakat
dihadapkan pada pertarungan semesta yang sebenarnya hanya merupakan pertarungan
politik semata. Masyarakat diajak berfikir bahwa jika pemimpinnya bukan orang
ini maka kiamatlah dunia. Sebenarnya hal ini terjadi juga pada masa orde lama yang
meng-agung-kan politik, jargon politik sebagai panglima yang berakibat
hancur-leburnya perekonomian dan pembangunan Indonesia pada masa akhir
kekuasaanya. Inflasi yang tinggi-mengerikan mencapai 650% (buku “tiga puluh
tahun Indonesia merdeka” oleh Kesekretariatan Negara Republik Indonesia),
pembangunan yang mandek, terpusatnya
kekuasaan, dan pemberontakan di daerah
karena merasa didholimi oleh
pemerintah pusat. Maka menurut Saya lebih amannya adalah give a job for right people, berikan kerja pada orang yang tepat.
Biarlah wakil-wakil kita di DPRD memilih pemimpin yang sesuai dengan kondisi
kita, sedangkan kita sebagai warga sipil? Mari bekerja dan membangun serta
melakukan pengawasan kepada wakil-wakil kita secara aktif-pasif, hindari dan jangan
terbawa pada politik praktis.
Kesimpulan
dari tulisan ini adalah untuk menjawab judul artikel diatas. Pemilihan melalui
DPRD, kurang Demokratiskah? Menurut Saya pemilihan melalui DPRD adalah
pemilihan kepala daerah (pemimpin) yang demokratis, sesuai dengan jiwa bangsa
indonesia, dan lebih sedikit mudharatnya dibandingkan pemilihan langsung
melalui rakyat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar