Asmuni dengan pakaian khas
pembantu rumah tangga dengan menggunakan kopiah beludru hitam dan serbet makan
yang diselempangkan di pundaknya, melap dan bersih-bersih meja-kursi. Mulutnya
terus berkata-kata.
“Susah jadi pembantu, kerjaaa
terus. Apalagi punya majikan kayak pak Tarzan. Pelitnya minta ampun. Bayaran
diirit-irit, buat beli rumah saja gak bisa”
Penonton tertawa kecil. Tarzan
dengan gaya orang kaya masuk ke panggung. Berdiri saja melihat Asmuni yang
terus membersihkan meja-kursi sembari mengomel-ngomel kepada majikannya.
Penonton tertawa melihat Asmuni yang “pura-pura” tidak mengetahui kedatangan
majikannya. Mulutnya terus mengomel-ngomel kepada majikan yang kini berdiri di
belakangnya dengan wajah dibuat semarah mungkin.
“Asmuniii........!!!”
“Eh..Ada Pak Tarzan”
Penonton tertawa terbahak-bahak.
Itulah prolog atau pembuka dalam
salah satu adegan lawak Srimulat. Srimulat sering menggunakan adegan pembuka dengan menjadikan satu atau dua orang pelawaknya sebagai pembantu rumah tangga. Konon, menjadi
tokoh pertama yang akan membuka adegan selanjutnya adalah hal yang sulit, tokoh
itu dituntut untuk menggambarkan keadaan yang terjadi secara umum kepada
penonton dan tak lupa memancing gelak tawanya.
Seiring waktu lawakan-lawakan
cerdas dan sederhana semacam Srimulat yang menceritakan perkara disekitar rumah
tangga atau lingkungan semakin langka saja. Pelawak-pelawak baru yang banyak
ditampilkan di televisi-televisi pada dewasa ini (dasawarsa 2010an). Meskipun
tidak semuanya, tetapi kebanyakan
berkutat pada lawakan yang sarkastis, mengata-ngatai orang lain, mengejek dan
tak jarang memaki. Lawakan yang kasar dan sarkastis itu sering juga memasuki
ranah-ranah pribadi seseorang yang sifatnya privasi. Menurut Saya pribadi, kuranglah
elok jika lawakan yang seharusnya
menjadi hiburan yang menyegarkan pikiran itu menggunakan ranah pribadi
tokoh-tokoh yang berperan di dalam lawakannya untuk dijadikan sebuah “bahan”
dan parahnya hal seperti diatas disiarkan untuk konsumsi publik tak jarang juga
disiarkan secara langsung/live sehingga tidak ada filter dengan pemotongan
adegan atau pemotongan suara. Ironis ketika Kita tertawa terbahak-bahak akan
tetapi di sisi lain ada juga orang yang sedang merasa terhinakan.
Kangen juga Saya mendengar dan
melihat lawakan-lawakan segar yang berasal dari kehidupan sehari-hari yang
terkadang remeh-temeh itu. Guyonan antara majikan dengan pembantu, guyonan
antara anggota keluarga yang ribut karena perebutan warisan atau sang ayah
menikah lagi, dan guyonan antara orang-orang yang sedang mencari kerja tetapi
akhirnya ketipu. Simple namun lucu dan menghibur. Tanpa menyakiti perasaan
orang lain dan tanpa adanya caci-maki di dalam dialognya. Saya tidak perlu
melihat lawakan-lawakan yang diklaim spontan tanpa skrip namun kata-kata yang
meluncur bukanlah lawakan yang cerdas melainkan kata-kata yang menjurus kepada
hinaan. Saya juga tidak perlu melihat acara lawakan yang banyak sekali memberikan
hadiah, karena yang Saya cari bukan itu. Yang Saya cari ketika menonton acara
lawak adalah menertawakan tingkah laku pelawak yang memerankan seorang tokoh,
selain itu juga menertawakan fragmen-fragmen
hidup yang memang jika Kita telaah kembali ternyata sangat lucu dan
menghibur.
Fragmen lawak Kartolo CS asal
Surabaya:
Sokran bertemu Kartolo dan Sapari
ketika berjalan. Dalam cerita Kartolo dan Sapari baru saja berhenti bekerja dan
akan mencari pekerjaan baru ketika bertemu Sokran.
“Mau kemana kalian berdua?” tanya
Sokran.
“Mau cari kerja, ada pekerjaan?”
“Ada pekerjaan mengecat dengan
gaji besar”
“Iyah deh mau, mau ngecat dimana?”
“Mari ikut mengecat es batu/es
balok”
Hahaha. Kangen juga kan lawakan
seperti ini.
sumber gambar:tipsberonline.blogspot.com
sumber gambar:tipsberonline.blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar