Jumat, 15 Agustus 2014

Humaniora: Kangen dengan Lawakan Jadul


Asmuni dengan pakaian khas pembantu rumah tangga dengan menggunakan kopiah beludru hitam dan serbet makan yang diselempangkan di pundaknya, melap dan bersih-bersih meja-kursi. Mulutnya terus berkata-kata.

“Susah jadi pembantu, kerjaaa terus. Apalagi punya majikan kayak pak Tarzan. Pelitnya minta ampun. Bayaran diirit-irit, buat beli rumah saja gak bisa”

Penonton tertawa kecil. Tarzan dengan gaya orang kaya masuk ke panggung. Berdiri saja melihat Asmuni yang terus membersihkan meja-kursi sembari mengomel-ngomel kepada majikannya. Penonton tertawa melihat Asmuni yang “pura-pura” tidak mengetahui kedatangan majikannya. Mulutnya terus mengomel-ngomel kepada majikan yang kini berdiri di belakangnya dengan wajah dibuat semarah mungkin.

“Asmuniii........!!!”

“Eh..Ada Pak Tarzan”

Penonton tertawa terbahak-bahak.

Itulah prolog atau pembuka dalam salah satu adegan lawak Srimulat. Srimulat sering menggunakan adegan pembuka dengan menjadikan satu atau dua orang pelawaknya sebagai pembantu rumah tangga. Konon, menjadi tokoh pertama yang akan membuka adegan selanjutnya adalah hal yang sulit, tokoh itu dituntut untuk menggambarkan keadaan yang terjadi secara umum kepada penonton dan tak lupa memancing gelak tawanya.

Seiring waktu lawakan-lawakan cerdas dan sederhana semacam Srimulat yang menceritakan perkara disekitar rumah tangga atau lingkungan semakin langka saja. Pelawak-pelawak baru yang banyak ditampilkan di televisi-televisi pada dewasa ini (dasawarsa 2010an). Meskipun tidak semuanya, tetapi  kebanyakan berkutat pada lawakan yang sarkastis, mengata-ngatai orang lain, mengejek dan tak jarang memaki. Lawakan yang kasar dan sarkastis itu sering juga memasuki ranah-ranah pribadi seseorang yang sifatnya privasi. Menurut Saya pribadi, kuranglah elok  jika lawakan yang seharusnya menjadi hiburan yang menyegarkan pikiran itu menggunakan ranah pribadi tokoh-tokoh yang berperan di dalam lawakannya untuk dijadikan sebuah “bahan” dan parahnya hal seperti diatas disiarkan untuk konsumsi publik tak jarang juga disiarkan secara langsung/live sehingga tidak ada filter dengan pemotongan adegan atau pemotongan suara. Ironis ketika Kita tertawa terbahak-bahak akan tetapi di sisi lain ada juga orang yang sedang merasa terhinakan.

Kangen juga Saya mendengar dan melihat lawakan-lawakan segar yang berasal dari kehidupan sehari-hari yang terkadang remeh-temeh itu. Guyonan antara majikan dengan pembantu, guyonan antara anggota keluarga yang ribut karena perebutan warisan atau sang ayah menikah lagi, dan guyonan antara orang-orang yang sedang mencari kerja tetapi akhirnya ketipu. Simple namun lucu dan menghibur. Tanpa menyakiti perasaan orang lain dan tanpa adanya caci-maki di dalam dialognya. Saya tidak perlu melihat lawakan-lawakan yang diklaim spontan tanpa skrip namun kata-kata yang meluncur bukanlah lawakan yang cerdas melainkan kata-kata yang menjurus kepada hinaan. Saya juga tidak perlu melihat acara lawakan yang banyak sekali memberikan hadiah, karena yang Saya cari bukan itu. Yang Saya cari ketika menonton acara lawak adalah menertawakan tingkah laku pelawak yang memerankan seorang tokoh, selain itu juga menertawakan fragmen-fragmen  hidup yang memang jika Kita telaah kembali ternyata sangat lucu dan menghibur.

Fragmen lawak Kartolo CS asal Surabaya:
Sokran bertemu Kartolo dan Sapari ketika berjalan. Dalam cerita Kartolo dan Sapari baru saja berhenti bekerja dan akan mencari pekerjaan baru ketika bertemu Sokran.

“Mau kemana kalian berdua?” tanya Sokran.

“Mau cari kerja, ada pekerjaan?”

“Ada pekerjaan mengecat dengan gaji besar”

“Iyah deh mau,  mau ngecat dimana?”

“Mari ikut mengecat es batu/es balok”



Hahaha. Kangen juga kan lawakan seperti ini.

sumber gambar:tipsberonline.blogspot.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar