Kamis, 07 Agustus 2014

Humaniora: Marxisme, Kelahiran di Dunia dan (mungkin) Kematiannya di Indonesia (bagian#1)


Revolusi Industri
Akhir milenia 19 dan awal abad 20 merupakan abad yang bersorak-sorai dengan lahirnya pemikiran serta gagasan baru. Ketika keinginan menghasilkan efisiensi dan efektifitas dalam produksi akhirnya dijabarkan pada sebuah era yang disebut dengan era revolusi industri, era ketika tenaga manusia dan binatang akhirnya dapat digantikan oleh mesin-mesin produksi. Era revolusi Industri dimulai ketika ditemukannya mesin uap. Eureka! Maka mesin uap pun mengganti posisi-posisi manusia di kebanyakan pabrik produksi dan juga tenaga-tenaga hewan untuk kendaraan. Sisi positifnya tentu saja hasil produksi menjadi berkali-kali lipat jumlahnya dan perpindahan barang dari daerah satu ke daerah lain menjadi lebih cepat serta lebih besar jumlahnya. Era revolusi industri membentang selama 1 abad dari tahun 1750 sampai dengan tahun 1850, tentu saja dari jangka waktu satu abad tersebut mengguratkan kisah dan kenangan kepada setiap insan manusia.
 ketika tenaga manusia dan tenaga hewan digantikan oleh “keajaiban teknik” untuk mengejar setiap sen efektifitas dan efisiensi produksi maka tidaklah lagi laku menjual tenaga manusia, namun manusia yang melalui hari yang disebut sebagai “hidup” tentu membutuhkan segala keperluan untuk melalui “hidup” itu. Pertanyaannya sekarang? darimanakah ia mendapat sumber untuk mencukupi kehidupannya ketika pabrik-pabrik dimana dahulu ia bekerja mengganti pekerjaan yang dilakukannya dengan tenaga mesin. Tenaga yang dimilikinya akan hilang dimakan waktu ataupun jikalau Ia mau menjual tenaganya di pabrik dengan kapasitas “fully technical” maka Ia akan dibayar dengan bayaran rendah.
Revolusi Industri yang melayang-layang selama satu abad di Inggris dan diikuti oleh negara-negara lain mempunyai dampak positif yang sungguh luas, namun dampak negatifnya juga berdampak sangat luas. contoh dari bidang lingkungan hidup saja, karena dahulu belum ada organisasi yang concern terhadap lingkungan hidup maka kebanyakan di daerah-daerah industri terjadi kerusakan lingkungan. Dari aspek sosial dapat dibayangkan bagaimana nasib sekian puluh ribu ataupun juta jiwa dari buruh-buruh kasar dari pabrik yang telah digantikan mesin, penganggur-penganggur ini berkeliaran di jalan-jalan untuk sekedar mengantarkan koran, membuka pintu kereta kuda, ataupun hanya luntang-luntung saja menunggu nasib, dan tentu saja hal itu terjadi karena belum adanya organisasi ataupun gagasan yang concern tehadap nasib orang-orang kurang beruntung ini.
Gagasan Pembaru
Keadaanlah yang membuat orang mendukung ataupun resisten terhadap suatu gagasan, apapun itu yang disebut sebagai gagasan, pemikiran, dan suatu isme-isme maka waktulah yang akan menentukan apakah Ia dapat bertahan. Ketika daerah Arab sedang dalam masa Jahiliyah maka ia memasuki era baru ketika lahirnya seorang Nabi Muhammad SAW dengan gagasan-gagasan pembaruannya. Pun, dalam era revolusi industri lahir suatu gagasan yang dicetuskan oleh Karl Marx (1818-1883) dengan berlandaskan pada materialitas penuh untuk membuka pandangan bagi kaum-kaum terpinggirkan pada masa itu. Kebanyakan pendapat Karl Marx pada masa itu dapat diterima karena memang pemikiran seorang Karl Marx sesuai dengan kondisi yang ada. Ada beberapa kelompok kecil yang menguasai aset-aset produksi yang menentukan hidup sekian ribu orang dibawahnya. Selain aset-aset produksi, sekelompok kecil orang-orang itu juga menguasai modal-modal yang digunakan untuk produksi. Sehingga, manusia terbagi menjadi dua kutub besar, yaitu: manusia borjuis yang menguasai aset produksi dan manusia lemah yang tidak memiliki apapu. Janganlah dikira nasib buruh-buruh pabrik saat itu tak berbeda dengan nasib buruh-buruh pabrik saat ini. Buruh pabrik saat itu dibayar dengan murah, sangat kurang untuk mencukupi kebutuhan hidupnya tetapi ini jauh lebih baik daripada beberapa orang yang sampai-sampai harus mengais-ngais keranjang sampah untuk sekedar mencari kulit kentang yang dibuang. Urusan keselamatan dan kesehatan kerja pun tidak ada yang membela hak-hak mereka, mereka bekerja selama hidup namun ketika sakit atau meninggal “aset produksi” itupun harus dibuang. Bahkan konon, ketika itu loper-loper koran yang kebanyakan anak kecil sampai remaja harus mau memakan koran yang dijualnya untuk menghindari rasa lapar, apa sebab? ternyata untuk setiap koran yang diambil, mereka harus membayar penuh kepada pihak kios dan kios pun tidak mau menerima pengembalian koran mereka yang tidak laku karena pihak percetakan koran tidak mau menerima koran yang tidak laku. Sehingga, ketika rasa lapar mendera dan uang sepeser yang dimilikinya telah habis untuk membeli koran yang belum laku itu maka koran lah yang menjadi “santapannya”. Era revolusi industri diikuti pula era kapitalisme yang mengagungkan modal sebagai dasar kekuatan.
 Di abad revolusi industri yang hingar-bingar namun keadaan di Eropa yang ketika itu dapat dikatakan kurang manusiawi karena membentuk manusia menjadi dua kutub seperti diatas. Maka tampillah seorang Karl Marx dengan gagasannya. Karl Marx yang yang lahir di Thier, Jerman pada tahun 1818 itu menuangkan pemikirannya dalam buku Das Kapital yang terdiri dari tiga jilid. Pemikiran Karl Marx yang “murni” ada pada jilid 1, sedangkan dua jilid lain (jilid 2 dan 3) merupakan rancangan gagasan Karl Marx namun diteruskan oleh sahabat karibnya Friedrich Engels (1820-1895) menyusul meninggalnya Marx pada tahun 1883 sebelum kedua jilid itu diterbitkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar