Kamis, 07 Agustus 2014

Humaniora: Marxisme, Kelahiran di Dunia dan (mungkin) Kematiannya di Indonesia (bagian#2)


Das Kapital dan Politik Praktis
Dalam Das Kapital, Marx mengungkapan konsep nilai tambah. Secara umum, ia melihat bahwa nilai-nilai tambah yang semakin berkumpul dan gemuk pada satu sisi kutub adalah dari hasil penghisapan pada kutub lain: kutub Borjuis yang sedikit jumlahnya menghisap kutub lemah yang banyak jumlahnya. Kutub Borjuis yang bisa hidup bermewah-mewah merupakan sekelompok kecil manusia yang menguasai aset produksi dan permodalan. Dengan modal dan aset produksi yang Ia miliki, Ia dapat membuat pabrik yang berproduksi untuk menghasilkan barang, Pabrik itu mengelola barang mentah dengan bantuan mesin pabrik dan tenaga manusia untuk menjadi bahan jadi. Nilai yang terkandung dalam barang jadi tentu lebih tinggi daripada barang mentah sebelum dilakukan pengelolaan, ketika nilai barang jadi itu dijual dan hasilnya dapat digunakan untuk menutupi biaya operasional pabrik: biaya kerja mesin dan kerja manusia, maka nilai sisa itulah yang disebut Karl Marx sebagai nilai tambah atau yang kita sebut sekarang sebagai laba/keuntungan yang merupakan hak dari pemilik pabrik atau kutub Borjuis. Namun menariknya, pemikiran Karl Marx tidak berhenti sampai “barang jadi keluar dari pabrik” namun Ia juga melihat sebuah lingkaran yang mengikat kaum buruh dari kutub lemah ini, yakni kebutuhan dalam mencukupi hidupnya. Ketika seorang buruh membutuhkan “hasil pabrik” untuk mencukupi kehidupannya maka ia juga harus mengeluarkan biaya untuk mendapatkannya dan tentu saja biaya yang harus dikeluarkannya adalah hasil dari bekerja pada pabrik kaum Borjuis juga. Maka inilah yang disebut “lingkaran setan” yang tetap membelenggu kutub lemah ini: Kaum Borjuis penguasa aset dan modal mengelola pabrik untuk mengelola bahan mentah menjadi barang jadi dengan bantuan mesin dan tenaga manusia, untuk setiap barang jadi yang dihasilkan maka manusia mendapat “gaji” dari pabrik, untuk barang jadi yang telah dihasilkan dan terjual maka pabrik mendapat keuntungan/nilai tambah, namun untuk mendapatkan setiap barang jadi yang dikeluarkan kaum borjouis maka kaum buruh harus mengeluarkan biaya sebesar harga barang jadi yang telah diolah ditambah dengan keuntungan untuk kaum borjuis tersebut. Marx memandang proses produksi sebagai konspirasi besar kaum Borjuis untuk menambah pundi-pundi kekayaannya dengan cara penghisapan kepada kutub lemah yang merupakan kelompok terbesar  sehingga Ia mengutuk dengan keras aset-aset produksi yang dimiliki secara pribadi.
Selama pemikiran Das kapital Karl Marx belum (atau mungkin memendam) untuk mengarahkan kekuatan-kekuatan yang dimiliki kutub lemah karena kuantitasnya yang besar untuk bergerak dalam politik praktis. Pemikiran Karl Marx dalam Das kapital adalah mengkritisi bentuk-bentuk struktural yang tejadi dalam masyarakat, ia menjadi oposisi pemikiran dan menawarkan gagasannya sebagai pemikiran alternative, Das Kapital menjadi antitesa gagasan yang sedang berkembang pada saat itu.
Namun pada tahun 1848, Karl Marx menerbitkan Manifesto Komunis (judul asli: Manifest der Kommunistictheen Partei) yang menggagas kaum lemah tersebut untuk bersatu dalam satu wadah untuk menyuarakan hak-hak mereka, maka dimulailah kaum dari kutub lemah itu menemukan sebuah landasan untuk mendirikan wadah yang membela dan menyuarakan hak-haknya untuk mendapatkan utopia perjuangan mereka dikemudian hari.
Dan tampillah sebutan-sebutan bagi kaum lemah ini kebanyakan disebut sebagai kaum Proletar yang digunakan oleh Partai Komunis Soviet dan Partai Komunis Indonesia, sedang kaum lemah di indonesia lebih suka disebut Soekarno sebagai kaum Marhaen karena menurut pendapat beliau kaum lemah di indonesia bukanlah kaum proletar seperti di Soviet dan Eropa yang bekerja-bekerja di pabrik tanpa memiliki aset sendiri, namun kaum lemah di indonesia adalah kaum yang memiliki aset sendiri (ladang dan sawah) sehingga hanya dapat memenuhi sebagian kecil kebutuhan hidupnya saja.
Kaum lemah yang berkumpul dalam satu wadah ini pun terseret pada politik praktis dengan tujuan merebut kekuasaan, dengan kelompok-kelompok yang lebih besar dibandingkan dengan jumlah kaum borjuis pemilik aset produksi dan modal yang mengingkan status quo dalam puncak kekuasaan mereka, maka terjadilah revolusi di berbagai negara-negara di dunia untuk menancapkan marxisme sebagai dasar negara dan membentuk suatu negara dalam pencapaian utopia Komunisme.

Perkembangan Marxisme
Karl Marx meninggal tahun 1883 namun siapa sangka pemikirannya melayang dan mempengaruhi setiap kepala pada masa itu untuk menggelorakkan suatu Revolusi. Tahun 1917 merupakan “tahun nol” dalam setiap perjuangan kaum Marxian karena pada tahun itulah untuk pertama kalinya di dunia, telah berdiri negara dengan basis pemikiran seorang Karl Marx/Marxisme. Ke-tsaran Rusia telah runtuh oleh “Revolusi Oktober” kaum proletar Rusia yang dipimpin oleh Vladimir Lenin (1870-1924), Tsar Nikolai II dari Rusia beserta keluarganya terbunuh, kaum proletar Rusia pun menguasai istana Kremlin, membanjiri lapangan merah, dan mengucapkan sumpah setia pada Marxisme untuk masa-masa yang akan datang.
Revolusi Oktober menginspirasi kaum-kaum proletar di seluruh dunia yang tergabung dalam Partai Komunis untuk mengadakan Revolusi di setiap negaranya untuk membentuk pemerintahan, tercatat di Indonesia juga banyak terjadi pemberontakan yang dilakukan oleh kaum merah ini, diantaranya yang paling terkenal adalah Pemberontakan PKI di Madiun tahun 1948 (Soekarno lebih suka menyebut peristiwa ini dengan “Madiun Affairs”) dan Gerakan 30 September 1965 (G30S/Gestapu). Sejarah mencatat, pemerintahan Republik indonesia yang kegerahan karena sepak-terjang kaum ini akhirnya mengeluarkan Ketetapan MPRS TAP MPRS/XXV/1966 tentang pembubaran Partai komunis Indonesia sekaligus melarang dan membersihkan wilayah indonesia dari segala bentuk paham Marxisme, Sehingga sampai saat ini pun membicarakan Marxisme dan kata-kata “Komunis” merupakan hal yang masih sangat tabu bagi masyarakat Indonesia.
TAP MPRS/XXV/1965 ini merupakan lonceng kematian bagi perkembangan Marxisme di Indonesia, namun apakah Marxisme sendiri sudah mati didalam otak dan pemahaman beberapa orang di republik ini, saya pikir Tidak!. Marxisme adalah suatu bentuk gagasan dari seorang Karl Marx, gagasan itu terbang menjangkau setiap manusia dimanapun di penjuru dunia ini, jikalau manusia tidak memandang bentuk-rupa itu merasa terinspirasi dan mungkin gagasan-gagasan yang dijabarkan Marx sesuai dengan yang dialaminya,sehingga manusia itu merasa “tercerahkan” maka janganlah dipersalahkan jikalau beberapa gelintir orang menjadi seorang marxisme ataupun Komunis dan orang-orang tersebut pun dengan sepenuh kenyakinan akan membela gagasan pencerahnya tanpa takut dari hukuman yang akan menimpanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar