Selasa, 05 Agustus 2014

Humaniora: Kado Pembatasan BBM Subsidi di Bulan Agustus 2014



Mulai tanggal 4 Agustus 2014 kemarin atau tepat seminggu setelah Lebaran. Masyarakat indonesia mendapatkan kado yang kurang menyenangkan dari pemerintah. Yakni pembatasan BBM (Bahan Bakar Minyak) jenis solar bersubsidi, kebijakan pemerintah yaitu: untuk solar bersubsidi hanya melayani pembelian pada pukul 08.00 sampai dengan 18.00 (jam 6 sore) diluar jam itu pom bensin hanya melayani pembelian untuk solar non-subsidi (pertamina DEX), selain itu persedian solar subsidi untuk wilayah Jakarta Utara dihentikan total penyalurannya. Sedangkan pembatasan untuk BBM jenis Premium adalah tidak dijual di wilayah Tol yang menurut keterangan dari Dinas Perhubungan hanya ada sekitar 14 Jalan Tol di Indonesia. Kalau dihitung secara kasar jika ada 14 tol dan ada 2 rest area di lajur kanan-kiri yang terdapat pom Pertamina, maka secara nasional hanya ada kurang lebih 28 pom bensin yang tidak menjual BBM bensin subsidi (baca:premium 88)  dan hanya menjual BBM Non-Subsidi (Pertamax 92 dan Pertamax Plus 94).
Ternyata eh ternyata, alasan “pengetatan ikat pinggang” ini adalah karena kuota BBM subsidi yang ditanggung oleh negara sudah dalam batas merah, menurut kepala BPH Migas (Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas) Pak Andy (Andy Noorsamang) dalam wawancara di TVOne. BBM Subsidi yang dapat ditanggung negara menurun dibandingkan tahun lalu, jika tahun lalu Pemerintah sanggup nalangi subsidi sebesar 48 juta kiloliter BBM, tahun ini pemerintah hanya sanggup nalangi sebesar 46 juta kilo liter. Jadi perbedaan BBM yang ditalangi oleh pemerintah antara tahun lalu dan tahun ini adalah sebesar 2 juta kiloliter. Dan kabar buruknya, sampai dengan bulan Agustus ini dikhawatirkan BBM subsidi yang jumlahnya 46 juta kilo liter itu tidak akan bisa bertahan sampai dengan akhir tahun (Desember) 2014.
Menurut Pak Andy juga, solar bersubsidi adalah jenis BBM yang masuk dalam tahap paling menghawatirkan jika dilihat dari ketersediaannya, penyediaan pihak Pertamina untuk solar bersubsidi hanya mencover kurang dari seminggu. Premium hanya dapat dicover kurang lebih selama 2 minggu dan Avtur dapat dicover lebih dari 3 bulan. Yang itu berarti kebutuhan solar bersubsidi  di lingkup nasional sangat besar dibandingkan dengan BBM jenis lainnya. Kalau dilihat-lihat di jalanan sih. Secara kuantitas jumlah kendaraan, masih banyak yang menggunakan bensin yang notabene menggunakan BBM jenis Premium, contohnya: sepeda motor, mobil pribadi yang kebanyakan pakai premium, dan angkot. Sedangkan solar digunakan untuk kendaraan besar-besar; Bus, Truk, kendaraan pribadi bermesin diesel, dan kendaraan-kendaraan berat. Tetapi ternyata konsumsi solar nasional menggelembung karena selain kendaraan yang nampak di jalan-jalan, banyak pula yang memanfaatkan diesel sebagai pembangkit listrik, mesin-mesin usaha dan mesin operasional daerah perkebunan yang seharusnya menggunakan BBM solar non-subsidi (baca: Pertamina DEX).
Kawan-kawan pasti paham jika kendaraan besar seperti bus, kereta, kapal laut, mesin-mesin dan kendaraan-kendaraan berat pasti “minumnya” juga besar, sehingga dapat dipastikan hal ini memusingkan pihak Pertamina sebagai produsen yang “membuat” dan menjaga ketersediaan solar, BPH MIGAS Juga pusing menjaga distribusi BBM dan pembuat kebijakan terkait distribusi agar BBM sampai pada “tangan yang tepat”, terlebih lagi pemerintah melalui Kementrian Keuangan yang pusing tujuh keliling menjaga-jaga agar jangan sampai neraca jadi anjlok gara-gara konsumsi BBM yang melebihi kuota.

Memang solar non-bersubsidi (Pertamina DEX) gaungnya kurang keras dibandingkan dengan bensin non-subsidi (Pertamax dan pertamax plus). Sepertinya baru kemarin ada iklannya di TV, sampai-sampai Saya kira bio-solar yang kemarin dijual di POM Pertamina adalah solar yang non-subsidi dan memang harganya jauh lebih murah (beda seribu rupiah) dengan premium, karena konon solar adalah minyak yang tidak bisa mengoperasionalkan mesin bensin (minyak sisa) dan solar bisa dibuat penggantinya dengan minyak dari tumbuh-tumbuhan (jarak dan tebu) jadi dapat dibayangkan dengan kelebihan seperti itu, solar memang pantas dijual murah dari bensin.
Ternyata eh ternyata lagi, hal yang menina-bobokan Kita adalah harga BBM subsidi yang murah meriah dan jauh dari nilai keekonomisan. Coba lihat harga bensin bersubsidi yang sebesar 6.500 Rupiah dibandingkan dengan harga Pertamax 92 di kisaran 11.000 Rupiah dan pertamax plus 94 di kisaran 13.000, kalau dihitung-hitung jika kita membeli pertamax 92 sebanyak 1 liter maka kita sudah dapat Premium 88 sebanyak 1,5 liter lebih dan yang lebih “gila” lagi jika kita membeli Pertamax Plus 94 sebanyak 1 Liter maka kita dapat memperoleh Premium sebanyak 2 liter atau 2 liter lebih sedikit. Sedangkan untuk mesin diesel dengan harga bio-solar sebesar 5.500 rupiah juga masih kalah telak dibandingkan dengan harga solar “aseli” mengikuti harga pasar berjudul Pertamina DEX dengan harga sekitar 10.000 Rupiah, beli seliter Pertamina DEX dapat hampir-hampir 2 liter bio-solar, hayoo pilih yang mana coba?




Jika Pemerintah mau gampangnya saja, bisa saja pemerintah mencabut semua subsidi BBM nya. Tapi hal itu bisa memancing chaos di masyarakat. Kenaikan BBM berarti kenaikan barang karena biaya distribusi naik, biaya jasa angkut dan tranpostasi naik, biaya barang dan jasa naik berimbas pada biaya hidup yang naik, biaya hidup naik memancing tuntutan menaikkan pendapatan, naiknya pendapatan di imbangi dengan naiknya harga barang yang akhirnya kita kenal sebagai istilah inflasi. Nominal uang kita nggembosi! Impoten jika mau ditukar dengan barang, jadinya yah gitu deh. 20.000 Rupiah kemarin bisa buat beli pecel Blitar dicampur dengan sambal Tumpang (kampung pacar Saya iniiihh) ditambah es teh kadang-kadang bisa dibuat makan dua orang. Tapi kalau subsidi BBM dicabut dan jadinya inflasi (kalau parah sampai jadi inflasi tak terkendali) jangan-jangan duit 20.000 tadi cuman bisa makan buat satu orang saja, Saya jadi males makan pecel soalnya mahal, ibu-ibu yang jual pecel bingung dagangannya sepi, perputaran uang lambat. Saya, ibu penjual pecel, dan pemerintah sama-sama rugi deh.

Dapat Saya pastikan bukan langkah diataslah yang akan pemerintah ambil, Pemerintah berupaya menekan seminimal mungkin dampak yang bisa dihitung dengan adanya suatu kebijakan. Pemerintah sepertinya mulai mendorong kita sebagai masyarakat untuk “bangun” dan memikirkan persoalan tentang minyak bumi ini. Republik Indonesia sudah keluar dari OPEC (Organization Petroleum Exporting Country) yang berarti minyak mentah yang dihasilkan di bumi Nusantara habis untuk mencukupi kebutuhannya sendiri dan tidak ada setetespun (lebay) yang bisa diekspor atau bahkan yang lebih buruk Indonesia menjadi negara pengimpor minyak mentah.
Pelan-pelan pemerintah sebagai orang tua yang baik “membangunkan” kita dan mengajari Kita melihat yang “real” bahwa kekayaan ortu kita sudah mulai berkurang, ortu pun perlu beberapa kali berhutang untuk mencukupi kebutuhan Kita. Sehingga, kebijakan yang dikeluarkan BPH Migas ini menurut Saya adalah sebuah awal untuk membuat kita lebih berhemat dalam penggunaan BBM dan memandang lebih “real” dalam masalah energi ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar